Ketika berlibur di Yogyakarta pekan lalu, mantan presiden Barack Obama sangat menikmati sejumlah makanan lokal, salah satunya adalah mie lethek, makanan organik asal kabupaten Bantul, Yogyakarta. Wartawan VOA Munarsih Sahana melaporkan tentang pembuatan mie lethek yang mulai diproduksi tahun 1940-an tersebut.
Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sentra produksi mie lethek yang terbuat dari tepung singkong. Kata “lethek” dalam bahasa Jawa berarti kotor atau kusam. Karena bahan utama mie ini adalah tepung tapioka dan gaplek tanpa tambahan pengawet maupun zat kimia, sehingga mie akan berwarna putih kusam kecoklatan sehingga orang cenderung menyebutnya mie lethek.
Setidaknya ada dua pabrik mie lethek di Srandakan masih menggunakan cara tradisional, misalnya menggunakan sapi untuk menggerakkan alat mencampur adonan mie. Selama puluhan tahun, mie lethek mentah maupun masak hanya dijual di pasar-pasar traditional tetapi perkembangan kuliner beberapa tahun ini mendorong tumbuhnya banyak warung maupun restoran mie lethek.
Melihat prospek mie lethek, FX Subeno Prayogo Kastu yang semula memasok tepung untuk pabrik mie dan kerupuk, mulai tahun 2014 mendirikan pabrik mie lethek Talang Berkah Jaya memproduksi mie lethek yang ia beri label Mie Reshik (mie bersih) Cap Dokar. Ia tidak menggunakan sapi dalam produksinya tetapi mesin traktor dengan diesel, dan setiap produksi yang memakan waktu tiga hari menghasilkan 1,9 ton mie lethek.
“Pertama kita merendam kasava untuk menghasilkan tepung yang bersih, lantas kita campur dengan tepung tapioka yang bersih dengan takaran tertentu lalu setelah kita aduk kita molen selama 2,5 jam biar campur. Setelah itu kita kukus dengan potongan yang ketebalannya 40 senti(meter) kita kukus sampai matang, kita aduk lagi dengan tepung yang mentah. Kita aduk lagi sampai benar-benar kenyal dan setelah itu kita masukkan ke mesin press untuk menciptakan butiran panjang itu terus kita kukus lagi dan tiriskan satu malam. Paginya kita rendam lagi, kita cuci lagi kita bentuk kotak-kotak itu masih secara manual itu baru kita bawaa ke tempat penjemuran untuk penjemuran”.
Menurut Subeno, para pembuat mie lethek umumnya masih tergantung sinar matahari untuk proses pengeringan.
“Di musim penghujan itu kita benar-benar tidak bisa berkutik karena warnanya nanti berubah menjadi hitam, jadi antara warna cerah dan gelapnya mie itu tergantung dari cuaca. Untuk mengantisipasi itu saya sudah mulai membangun oven yang berkapasitas 4 ton. Kalau permintaan pasar di sekitar sini tergantung kalau banyak orang hajatan pasaran kita akan melonjak, kalau tidak ada hajatan kadang-kadang menurun. Yang paling jauh mie kita itu dijual di Jakarta karena pengiriman mie itu besar di ongkos”.
Mengetahui mantan presiden Barack Obama suka makan mie lethek, Subeno yang akhir-akhir ini mulai menerima banyak tamu dari luar kota maupun luar negeri utamanya Jepang, menjadi lebih bersemangat memodernisasi pabrik mie miliknya dan memperluas makanan organik lokal itu.
“Mie Lethek itu memang rasanya lain daripada yang lain. Rasa apeknya tidak ada. Kestimewaannya nggak ada pengawet, nggak ada pengawetnya. Terus, ada rasa kenyal. Kalau makan mie Lethek itu awet kenyang. Ini delapan bulan saja kuat (masih bagus), asal keringnya itu kering betul. Untuk sekarang kebanyakan orang akan beralih ke makanan organik. Jadi saya yakin betul produk organik akan tetap diatas karena orang yang sudah mampu dibidang ekonominya akan berpikir kesehatan”.
Salah satu warung mie lethek milik Mujiyem (54) yang juga ada di Srandakan, buka pukul 6 petang hingga tengah malam tidak pernah sepi pengunjung.
“Kalau pas rame ya 200-an tamu, kalau hari-hari biasa sekarang ya hanya 50 – 70, per-porsinya sekarang 13-ribu rupiah, mie goreng maupun mie rebus. Sekarang itu banyak pembeli dari jauh, dari kota banyak. Trus kalau Lebaran gini banyak yang dari Jakarta. Kalau sedang rame itu bisa habis 20 kilogram itu yang dimasak karena ada yang beli mie yang mentah juga,” jelasnya. [ms/em]