Pemerintah Arab Saudi baru-baru ini secara beruntun melakukan eksekusi mati terhadap dua buruh migran Indonesia yang ada di negara itu. Mereka adalah Siti Zaenab dan Karni Binti Medi Tarsim.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anies Hidayah Kamis (16/4) mengatakan, eksekusi mati terhadap buruh migran Indonesia di Saudi Arabia itu sangat melukai hati bangsa Indonesia.
Pemerintah Saudi Arabia menurut Anies benar-benar brutal karena secara beruntun melakukan eksekusi mati terhadap buruh migran Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) tambahnya harus segera menghentikan eksekusi beruntun terhadap buruh migran Indonesia dengan tindakan langsung sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Presiden Jokowi kata Anies juga harus menyampaikan protes keras terhadap pemerintah Saudi karena dalam melakukan eksekusi ini, pemeritah Saudi tidak menyampaikan secara resmi kepada pemerintah Indonesia.
Tindakan seperti ini tambahnya menandakan bahwa pemerintah Saudi tidak menghargai dan menghormati pemerintah Indonesia karena dalam tata karma internasional yang ada dalam konvensi Wina tindakan eksekusi harus dilakukan pemberitahuan.
"Ada warga negara Indonesia dieksekusi mati kita tidak dinotifikasi, tidak diberitahukan secara resmi maka kita tidak dianggap ada di sana. Jadi menurut saya pemerintah Indonesia harus protes keras. Ini bukan pertama kali terjadi sebelumnya juga terjadi ke Rumiyati dieksekusi 2011 juga tidak diberikan notifikasi. Yanti Rianti juga tidak ada pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia," papar Anies Hidayah.
Saat ini, terdapat 287 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati dimana 60 diantaranya vonis tetap dan 227 masih menjalani proses hukum paling tidak di lima negara. Kelima negara itu, Arab Saudi,di Malaysia 215 orang, China 27 orang, Singapura 1 orang dan Iran 1 orang.
Untuk itu Migrant Care mendesak keseriusan pemerintah Indonesia dalam mengadvokasi buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati dan melakukan langkah-langkah komprehensif untuk mengakhiri praktik hukuman mati.
Lebih lanjut Anis mengatakan pemberlakuan hukuman mati yang diterapkan pemerintah Indonesia juga mengurangi tingkat kualitas diplomasi Indonesia kepada negara lain.
Hal ini menyebabkan menurut Anies Indonesia tidak memiliki legitimasi moral yang kuat untuk membebaskan warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati.
"Ini yang perlu diperbaiki. Jokowi mendudukkan beberapa kementerian, perwakilan di luar negeri untuk mensolidir data. Harus ada keterbukaan informasi kepada publik. Berapa WNI terancam hukuman mati, di mana prosesnya, mana yang sudah tetap, persoalan HAM menjadi permasalahan dunia internasional, bukan hanya kita," tukas Anies.
Kementerian Luar Negeri merasa tak mendapat notifikasi apa pun dari Saudi perihal eksekusi mati tersebut.
Duta Besar Arab Saudi di Jakarta, Mustafa Ibrahim Al-Mubarak mengatakan akan memeriksa alasan perwakilan Indonesia tak diberitahu ihwal pelaksanaan eksekusi mati Siti Zainab. Mustafa mengaku harus bertanya terlebih dahulu pada pemerintahnya.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menyampaikan protes keras kepada Pemerintah Arab Saudi, karena tidak menyampaikan notifikasi kepada Perwakilan RI maupun kepada keluarga mengenai waktu pelaksanaan hukuman mati tersebut.
Direktur Perlindungan WNI, Kementerian Luar Negeri, Lalu Mohammad Iqbal, mengatakan pemerintah Indonesia menyatakan telah maksimal melakukan pembelaan terhadap dua buruh migran tersebut.
"Kita telah berusaha maksimal untuk membebaskan WNI dari hukuman mati. Tidak ada notifikasi ke kita," ungkap Lalu Iqbal.
Karni dieksekusi karena didakwa membunuh anak majikannya yang berusia 4 tahun pada 2013. Karni langsung menjalani persidangan.
Pada 14 April lalu, pemerintah Arab Saudi juga mengeksekusi Siti Zaenab binti Duhri, 47 tahun, buruh migran asal Bangkalan, Jawa Timur. Siti dipidana atas kasus pembunuhan istri majikannya, Nourah binti Abdullah Duhem al Maruba, pada 1999. Dia kemudian ditahan di Penjara Umum Madinah sejak 5 Oktober 1999.
Pengadilan Madinah menjatuhkan vonis hukuman mati qisas kepada Siti Zainab pada 8 Januari 2001. Namun pelaksanaan hukuman ditunda lantaran menunggu Walid bin Abdullah bin Muhsin al Ahmadi, putra bungsu korban, mencapai usia akil baligh. Pada 2013, Walid menolak memberi maaf dan tetap menuntut pelaksanaan hukuman mati.
Sejumlah upaya diplomatik telah dilakukan pemerintah Indonesia, antara lain melalui surat kepada Raja Arab Saudi yang dikirim tiga Presiden RI, dari almarhum Abdurrahman Wahid pada 2000, Susilo Bambang Yudhoyono (2011), hingga Joko Widodo (2015).
Pada Maret lalu, pemerintah juga meminta bantuan untuk mendekati keluarga guna mendapatkan pemaafan, namun upaya ini juga gagal.