Baru-baru ini, Mahkamah Petaling Jaya, Malaysia menjatuhkan vonis ringan terhadap Datin Rozita Mohamad Ali yang terbukti melakukan penganiayaan keji terhadap Suyantik, pembantu rumah tangga (PRT) asal Sumatera Utara.
Majikan Suyantik ini hanya divonis denda 20 ribu ringgit Malaysia atau setara 70,3 juta rupiah serta menunjukan kelakukan baik selama lima tahun tanpa harus menjalani hukuman penjara.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo kepada VOA, Minggu (18/3) menyatakan lembaganya sangat kecewa atas putusan yang tidak adil tersebut. Menurutnya vonis ringan tersebut sangat melukai rasa keadilan terhadap korban.
Wahyu menjelaskan dari pemantau yang dilakukan atas proses peradilan itu memang ditemukan adanya kejanggalan berupa perubahan tuntutan atau dakwaan dengan saksi penjara yang awalnya maksimal 20 tahun menjadi 3 tahun penjara atau denda.
Perubahan tersebut tambahnya menimbulkan kejanggalan karena memperlihatkan adanya upaya untuk memperingan hukuman dan terbukti di vonis akhir, majikan Suyantik mendapatkan hukuman ringan.
Karena itulah kata Wahyu perlu adanya proses investigasi yang menyeluruh atas kejanggalan-kejanggalan yang terkandung dalam putusan tersebut. Hasil investigasi itu tambahnya dapat menjadi bahan pengajuan banding atas putusan yang tidak adil tersebut.
"Perubahan-perubahan pasal ini juga sangat janggal. Dugaan Migrant Care ini sebenarnya bentuk diskriminasi hukum karena yang diadili adalah orang yang punya kuasa, setidaknya dia punya power di Malaysia, sementara yang menjadi korban warga negara asing.Ini yang menurut kami proses peradilan sangat tidak adil," papar Wahyu.
Wahyu Susilo juga menyayangkan tindakan KBRI Kuala Lumpur yang sangat jarang melakukan pemantauan terhadap pengacara korban dan secara terbuka mengungkapkan rasa kekecewaan atas putusan tersebut kepada pemerintah Malaysia.
"Itu juga ekspresi atas ketidakadilan yang dialami oleh Suyantik dalam dia mendapat akses keadilan. Kita tidak ingin ini menjadi preseden, misalnya kasus Adelina belum diadili, kita tidak ingin peristiwa ini itu juga terulang pada proses yang dilakukan majikan Adelina," tambahnya.
Baca: Majikan yang Siksa TKI Tak Dipenjara, Jaksa Ajukan Banding
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menegaskan bahwa KBRI telah mengawal kasus ini sejak menerima laporan Desember 2016. KBRI tambahnya juga berhasil mengupayakan kompensasi tanpa menghentikan proses pidana dan telah memulangkan Suyantik ke Indonesia pada awal 2017.
Menurutnya KBRI Kuala Lumpur akan terus mengawal proses hukumnya dengan tetap menghormati hukum di Malaysia.
Ketua Komisi IX yang membidangi soal tenaga kerja Indonesia Dede Yusuf menekankan agar pemerintah Indonesiasegera kembali melakukan MOU atau nota kesepahaman dengan Malaysia terkait perlindungan buruh migran.
Mou tentang perlindungan buruh migran ini telah berakhir sejak 2016 dan hingga kini belum diperpanjang karena belum adanya kesepakatan. Pemerintah Malaysia belum menyetujui sejumlah hal dalam Mou tersebut di antaranya soal upah.
Dede mengatakan, "Saya sebagai anggota DPR menekankan kepada pemerintah Indonesia dalam konteks ini untuk melakukan MOU dengan pemerintah Malaysia, yang disepakati oleh kedua negara dimana di dalam klausulnya menegaskan tentang sanksi hukum terhadap majikan yang menyiksa pekerja-pekerja kita."
Suyantik, PRT asal Sumatera Utara ditemukan pada 21 Desember 2016 dalam keadaan mengenaskan di selokan pemukiman majikan dengan luka-luka lebam di sekujur tubuhnya. Dalam berita acara pemeriksaan, Suyantik dilaporkan mengalami cedera serius di kedua matanya, tangan, kaki, pendarahan beku di kulit kepala dan mengalami patah tulang pada belikat kiri. Penganiayaan yang dilakukan terhadap Suyantik menggunakan pisau, alat pel, payung, setrika dan gantungan baju. [fw/em]