Tautan-tautan Akses

Misi Pencari Fakta Temukan Kemungkinan Kejahatan Perang & Kemanusiaan di Libya


Penyelidik PBB mendapati kemungkinan terjadinya kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama konflik di Libya sejak 2016 (foto: ilustrasi).
Penyelidik PBB mendapati kemungkinan terjadinya kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama konflik di Libya sejak 2016 (foto: ilustrasi).

Penyelidikan yang dilakukan Dewan HAM PBB mendapati kemungkinan telah terjadinya kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Libya oleh semua pihak yang berkonflik sejak tahun 2016, termasuk oleh aktor-aktor eksternal.

Misi Pencari Fakta Independen di Libya mencatat mulai dari penahanan sewenang-wenang hingga penyiksaan, perekrutan tentara anak dan pembunuhan massal, dan banyak pelanggaran HAM berat yang berdampak pada rakyat negara itu dan memberi mereka alasan yang masuk akal untuk mengkategorikannya sebagai kejahatan perang.

Selama tahun 2019-2020, dan juga dalam berbagai kekerasan sejak tahun 2016 yang ditandai dengan serangan terhadap rumah sakit, sekolah dan pusat penahanan migran, warga sipil memiliki risiko paling tinggi.

Dalam konferensi pers di Jenewa hari Senin (4/10), Anggota Misi Pencari Fakta Independen di Libya, Tracy Robinson, mengatakan, “Penahanan sewenang-wenang di penjara rahasia dan kondisi penahanan yang tidak berperikemanusiaan digunakan secara luas oleh negara dan milisi terhadap siapa pun yang dinilai sebagai ancaman bagi kepentingan atau pandangan mereka. Kekerasan di penjara-penjara di Libya dilakukan dalam skala dan tingkat yang sedemikian rupa sehingga berpotensi menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Para penyelidik dalam misi itu menerbitkan temuan mereka setelah mengkaji ratusan dokumen dan mewawancarai lebih dari 150 orang, di samping kajian pararel secara langsung di Libya, Tunisia dan Italia.

Tim penyelidik independen yang ditunjuk PBB itu juga menyoroti kekerasan terhadap migran, pengungsi, dan kelompok minoritas rentan lainnya – termasuk individu LGBTQi.

“Aksi kekerasan terhadap migran dilakukan dalam skala luas oleh negara, aktor-aktor non-negara dan organisasi tingkat tinggi yang didorong oleh negara. Semua hal ini berpotensi setara dengan kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujar anggota misi lainnya, Chaloka Beyani.

Beyani juga merujuk laporan-laporan yang mengkhawatirkan tentang masih terus hadirnya pejuang atau pemberontak asing di negara itu dari konflik Suriah, dan tentara bayaran swasta yang diduga dikontrak oleh Group Wagner yang berbasis di Rusia, dalam pertempuran untuk memperebutkan ibu kota Libya dari tahun 2019 hingga 2020, klaim yang sebelumnya telah disorot oleh UN Working Group. “Penyelidikan kami menunjukkan masih adanya para pejuang asing, tentara bayaran, dan mereka belum meninggalkan Libya sebagaimana yang dipersyaratkan,” ujarnya.

Nama-nama Pelaku Pelanggaran HAM Masih Dirahasiakan

Ketua Misi Pencari Fakta Independen di Libya Mohammed Auajjar mencatat Pemerintah Persatuan Nasional Libya yang baru-baru ini dilantik, telah menciptakan kemungkinan dialog nasional dan penyatuan lembaga-lembaga negara. PBB telah mendukung upaya perdamaian di Libya, yang berubah menjadi kekacauan dan konflik setelah penggulingan Moammar Gadhafi tahun 2011 dan mengakibatkan negara itu terbagi antara Government of National Accord GNA – yang diakui masyarakat internasional – dan saingannya, Tentara Nasional Libya (LNA).

Dalam sebuah pernyataan, misi itu mencatat bahwa mereka telah mengidentifikasi warga Libya dan aktor asing yang mungkin bertanggungjawab atas pelanggaran, penganiayaan dan kejahatan yang terjadi di Libya sejak tahun 2016. Nama-nama ini akan tetap berada dalam daftar rahasia hingga muncul kebutuhan untuk mempublikasikan atau membagi informasi itu lewat mekanisme akuntabilitas lainnya. Ditambahkan, penyelidikan telah dibuka sejak tahun 2011 oleh Pengadilan Kriminal Internasional ICC terhadap dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Libya, atas permintaan Dewan Keamanan PBB. [em/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG