Mahkamah Konstitusi Thailand pada Rabu (3/4) setuju untuk mendengarkan kasus yang meminta pembubaran Partai Bergerak Maju (MFP) terkait janji kampanyenya untuk mereformasi undang-undang yang keras mengenai pencemaran nama baik kerajaan.
Partai tersebut berusaha mengubah tatanan politik kerajaan, dan memperoleh suara terbanyak pada pemilu Mei tahun lalu, setelah kampanye yang menjanjikan reformasi militer, monopoli bisnis, dan undang-undang lese-majeste.
Namun upaya mereka yang berani mengejutkan pemerintah Thailand dan berakhir dengan partai tersebut dikucilkan dari pemerintahan koalisi setelah berbulan-bulan perselisihan politik dan hukum.
Bulan lalu, Komisi Pemilihan Umum (EC) setuju “dengan suara bulat” untuk mengajukan petisi ke Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan MFP terkait janji kampanye partai tersebut untuk mereformasi undang-undang penghinaan kerajaan yang keras.
Dalam sebuah pernyataan, Mahkamah Konstitusi mengatakan pada hari Rabu bahwa mereka “menerima permintaan keputusan ini”, dan menambahkan bahwa partai tersebut memiliki waktu 15 hari untuk menyerahkan bukti.
Keputusan ini menyusul keputusan pengadilan lainnya pada bulan Januari yang memutuskan bahwa janji kampanye MFP mengenai undang-undang lese-majeste sama dengan upaya untuk menggulingkan monarki konstitusional.
Thailand mempunyai sejarah partai-partai politik yang dibubarkan akibat intervensi hukum, termasuk pendahulu MFP, Future Forward Party (FFP), yang dibubarkan pada tahun 2020 karena masalah keuangan.
Bulan lalu, juru bicara MFP Parit Wacharasindhu mengatakan kepada wartawan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi “bukanlah hal yang tidak terduga”.
“Yang terpenting, saya tidak ingin semua orang menganggap pembubaran partai adalah hal biasa, tidak peduli partai mana itu,” ujarnya.
Meskipun tidak ada jangka waktu yang jelas kapan Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan keputusan, pendahulu MFP, FFP, dibubarkan hanya beberapa bulan setelah keputusan Komisi Pemilu.
Keputusan tersebut turut mendorong banyak orang turun ke jalan-jalan di Bangkok pada tahun 2020, dengan adanya seruan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mereformasi undang-undang lese-majeste di negara kerajaan tersebut.
MFP kemudian membangun gerakan protes tersebut, dengan mengajak jutaan warga Thailand yang merasa jenuh karena tidak adanya perubahan setelah hampir satu dekade berada di bawah pemerintahan yang didukung militer.
Namun hal tersebut gagal pada rintangan terakhir, di mana pemimpin saat itu, Pita Limjaroenrat, dihalangi untuk menjadi perdana menteri oleh kekuatan konservatif di Senat, dengan alasan ancaman yang ia dan partainya berikan terhadap kerajaan.
Dia kembali ke parlemen pada bulan Januari setelah Mahkamah Konstitusi membebaskannya dari tuduhan melanggar undang-undang pemilu dalam kasus terpisah yang bisa membuatnya dilarang berpolitik.
Undang-undang lese-majeste dimaksudkan untuk melindungi raja –tokoh yang sangat dihormati dalam masyarakat Thailand – dari penghinaan, dan siapa pun yang melanggarnya dapat menghadapi hukuman hingga 15 tahun penjara.
Namun para kritikus mengatakan undang-undang tersebut telah ditafsirkan secara luas dalam beberapa tahun terakhir untuk melindungi keluarga kerajaan dari segala bentuk kritik atau ejekan. [ab/uh]
Forum