Majelis Ulama Indonesia (MUI) membantah telah menerima sumbangan, dukungan keuangan atau bentuk-bentuk lainnya untuk meredam kecaman dan keprihatinan terhadap perlakuan China pada kelompok minoritas Muslim-Uighur.
“Tuduhan bahwa ormas Islam terima dana besar itu sangat menyakitkan, dan sekaligus mendiskreditkan kami. Itu sama dengan pembunuhan karakter,” ujar Muhyidin Junaidi, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia MUI.
Dihubungi VOA melalui telepon, Muhyidin – yang memimpin delegasi ke Xinjiang Februari lalu – menegaskan bahwa “kami tidak bisa dibeli dengan uang. Kami, insya Allah, istiqomah dan punya integritas tinggi demi kebenaran.”
Laporan Wall Street Journal
Sebelumnya surat kabar Wall Street Journal (WSJ) pada 11 Desember melaporkan bahwa dalam upaya meraih dukungan internasional dan membentuk opini publik, khususnya dari pemimpin organisasi massa Islam dan media, China mendanai sekelompok pemimpin agama, tokoh masyarakat dan wartawan Indonesia untuk berkunjung ke Xinjiang.
“… didukung sumbangan dan dukungan finansial lain, China membantu menumpulkan kritik terhadap perlakuannya pada warga Uighur oleh negara-negara mayoritas Muslim, berbeda dengan kecaman keras yang disampaikan Amerika dan negara-negara Barat lainnya,” demikian petikan laporan WSJ itu.
WSJ lebih jauh memaparkan bagaimana pandangan di Indonesia berubah seusai kunjungan ke beberapa pusat pelatihan dan presentasi tentang bahaya serangan teroris oleh Uighur itu.
PBNU Bantah Soal Kamp Konsentrasi
Dalam wawancara dengan VOA 24 Februari lalu, tak lama setelah mendarat di bandara Soekarno-Hatta Cengkareng seusai lawatan itu, Ketua Pengurus Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Robikin Emhas memang membantah kabar tentang penangkapan dan penganiayaan warga Muslim-Uighur oleh aparat China. Dia juga menepis soal keberadaan “kamp konsentrasi” di Xinjiang.
“Saya tidak mendapati kamp-kamp pengasingan dan penjara sebagaimana yang dimaksud dalam beberapa kabar,” tegasnya dalam wawancara tersebut.
Robikin Emhas menjelaskan bahwa dalam kunjungan dengan jadwal padat selama lebih dari satu pekan ke Hotan dan Kashgar, dua daerah di Provinsi Xinjiang. Namun ia menggarisbawahi catatan yang disampaikan kepada pihak berwenang di sana, yaitu agar warga Muslim-Uighur tetap diberi kesempatan menjalankan ibadah seluas-luasnya.
“... Kami tetap berharap kebebasan memeluk agama juga disertai dengan kebebasan menjalankan ibadahnya, dimana pun dan kapan pun sesuai ketentuan agama masing-masing. Karena itu adalah hak mendasar. Kami sampaikan itu kepada otorita berwenang disana,” ujarnya.
Jadwal Lawatan Padat, Minim Interaksi
Hal senada disampaikan Muhyidin Junaidi, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional di MUI. Menurut Muhyidin, pihaknya sudah meminta agar dijadwalkan pertemuan dengan masyarakat Muslim tanpa pembatasan dan pengawasan. Tujuannya agar delegasi Indonesia mendapat informasi yang akurat dan berimbang.
“Tetapi fakta di lapangan, semua sudah diatur sedemikian rupa. Jadwal dibuat sangat padat. Tidak ada akses untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat tanpa pengawalan,” ujarnya. Ditambahkannya, “wartawan pun tidak diperbolehkan meliput berita tanpa pengawalan.”
Muhyidin mengatakan delegasi yang dibawanya, yang terdiri dari pimpinan Muhammadiyah, NU, MUI, dan wartawan. Rombongan, lanjut Muhyidin, hanya diajak ke Balai Latihan Kerja (BLK). Para peserta yang mengikuti kegiatan di BLK, ujarnya, adalah orang-orang yang dianggap ‘radikal’.
“ Selama dalam pelatihan, mereka dilarang beribadah, berpuasa dan membaca kitab suci. Mereka di bawah pengawasan ketat, dengan kamera CCTV di setiap pojok. Kegiatan mereka selalu dipantau,” ujarnya.
Muhyidin menggarisbawahi bahwa seusai lawatan itu, delegasi Indonesia itu sudah merilis laporan yang diserahkan kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. “Kami minta agar laporan itu segera diserahkan kepada Duta Besar China di Jakarta,” tegasnya.
Indonesia Percaya China Bisa Selesaikan Isu Internal
Dalam pertemuan dengan media di Jakarta pada Senin (16/12), Wakil Direktur Hak Sipil dan Politik, Kementerian Luar Negeri, Indah Nuria Savitri mengatakan “Indonesia memiliki keprihatinan tentang Uighur, tetapi kita mengedepankan mekanisme konsultasi dan diskusi bilateral dengan China. China memiliki mekanisme internal dan kita menghargai hal itu.”
Indah Nuria menegaskan bahwa Indonesia percaya China memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan isu internal ini.
Sementara soal kamp penyiksaan terhadap warga Uighur, Kemlu mengatakan pihaknya tidak membantah atau menerima isu itu.
“Penyelesaian internal harus dihormati dan China sudah melakukan hal itu. Kita tinggal tunggu bagaimana perkembangannya,” ujarnya.
Dokumen Rahasia Penahanan Warga Muslim di Xinjiang
Sejumlah dokumen rahasia pemerintah China yang bocor akhir November lalu mengungkapkan bagaimana pihak berwenang menggunakan program pengumpulan data besar-besaran untuk menarget dan menahan sekitar satu juta etnis minoritas Muslim di Provinsi Xinjiang.
Dokumen dan komunikasi internal China itu didapat dan dipublikasi oleh media pada 24 November lalu. Perilisan dokumen-dokumen tersebut hanya berselang satu minggu pasca setelah surat kabar New York Times membocorkan dokumen internal setebal 400 halaman.
Menanggapi hal itu, Penasehat Keamanan Nasional Gedung Putih Robert O’Brien menyerukan agar kamp-kamp konsentrasi di mana diperkirakan sekitar satu juta orang telah ditahan, harus segera ditutup.
“Kamp-kamp itu harus ditutup. Kamp-kamp itu harus dibongkar,” tegasnya.
“Tetapi bukan hanya kamp-kamp itu. Infrastruktur pemantauan yang dibangun di kawasan itu juga melacak orang melalui pengenalan wajah, kecerdasan buatan, melalui piranti elektronik. Mereka membuat sistem pemantauan di seluruh provinsi itu,” tambahnya.
Pihak berwenang di China membenarkan langkah-langkah ekstrem itu yang diambil sebagai sesuatu yang perlu untuk mengatasi apa yang mereka klaim sebagai “terorisme” dan memastikan keamanan nasional China.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, pada 25 November 2019, membantah dokumen baru yang bocor itu, dengan mengatakan masalah warga Muslim-Uighur adalah “murni urusan dalam negeri China.” [em/fw]