Kematian legenda tinju Muhammad Ali membuat warga Muslim di Amerika kehilangan seseorang yang mungkin merupakan pahlawan terbesar mereka, duta kehormatan untuk Islam di sebuah negara tempat keyakinan minoritas disalahpahami dan dicurigai.
"Kami bersyukur pada Tuhan ada dia," ujar Talib Shareef, presiden dan imam Masjid Muhammad di Washington, kepada sekelompok pemimpin Muslim yang memberi penghormatan kepada Ali di Washington hari Sabtu (4/6), sehari setelah ia meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Phoenix pada usia 74 tahun.
"Amerika seharusnya berterima kasih pada Tuhan atas dia. Ia adalah pahlawan Amerika."
Sejak gejolak pergerakan hak-hak sipil dan Muslim kulit hitam tahun 1960an sampai hari-hari kelam setelah 11 September 2001, Ali adalah seorang pahlawan yang membuat Muslim AS merasa jadi bagian rakyat Amerika.
Komunitas Muslim mengingat Ali untuk banyak alasan, yakni sebagai aktivis keadilan sosial, pendukung banyak kegiatan amal sepanjang hidupnya, dan menolak perang AS di Vietnam.
Selain itu, menurut mereka, ia adalah seorang Muslim yang dihormati di sebuah negara yang mayoritasnya Kristen, bahkan saat Ali membuat banyak orang terkejut dan takut saat ia bergabung dengan kelompok Nation of Islam dan mengubah namanya dari Cassius Clay tahun 1964.
"Ketika kita melihat sejarah komunitas Afrika Amerika, salah satu faktor penting dalam mempopulerkan Islam di Amerika adalah Muhammad Ali," ujar Warith Deen Mohammed II, putra mantan pemimpin Nation of Islam, dalam sebuah pernyataan.
Dengan sekitar 3,3 juta orang di AS, Muslim mencakup 1 persen populasi, sebagian besar imigran dan orang Afrika Amerika yang memeluk agama itu.
Meskipun mereka telah berintegrasi ke dalam masyarakat lebih baik dibandingkan dengan sesama Muslim di Eropa, Muslim Amerika mengalami kesulitan bahkan ketika secara demografis, jumlah orang kulit putih dan orang Kristen berkurang.
Sejak 2001, mereka menghadapi reaksi buruk dari warga Amerika yang menyamaratakan semua Muslim dengan mereka yang menyerang warga sipil atas alasan jihad.
Berpuluh tahun yang lalu, pemimpi-pemimpin Muslim kulit hitam seperti Elijah Muhammad dan Malcolm X menggebrak pemerintah kulit putih sebagai minoritas agama dan etnis yang menuntut persamaan atas kelompok mereka. Elijah Mohammad memperjuangkan semacam penolakan terhadap penindasan oleh kulit putih dan menolak integrasi ras.
Ali dipuja-puja secara luas, tapi ada saatnya ia ditolak, sebagian besar oleh orang kulit putih dan juga beberapa pemimpin kulit hitam karena pernyataan-pernyataannya yang keras melawan supremasi kulit putih dan penolakannya untuk mengikuti model yang dicontohkan oleh Martin Luther King, seorang Kristen.
"Pembersihan citra Ali pada tahun-tahun belakangan telah membuat banyak orang lupa bahwa ia dicaci-maki banyak pihak pada tahun 1960an karena memeluk agama Islam dan karena menolak wajib militer," ujar Frank Guridy, profesor tamu bidang sejarah di Columbia University.
"Ia dianggap sebagai pengkhianat Amerika Serikat."
Tahun 1970an, Ali memeluk ajaran Islam Sunni, sekte terbesar diantara Muslim di dunia, dan menekuni Sufisme.
Pada pertemuan pemimpin Muslim Amerika di Washington, pembicara demi pembicara mengenangnya dengan penuh rasa sayang sebagai Muslim yang akhirnya dicintai rakyat Amerika.
Ali membela warga Muslim Desember lalu, setelah kandidat calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, mengusulkan penghentian sementara masuknya Muslim ke negara itu, menyusul serangan militan Islamis di Paris dan San Bernardino, California.
"Para pemimpin politik kita seharusnya menggunakan posisi mereka untuk membawa pemahaman mengenai agama Islam, dan menjelaskan bahwa para pembunuh yang salah arah itu memiliki pandangan yang melenceng mengenai apa Islam sebenarnya," ujar Ali dalam pernyataan.
Ia juga menggunakan pengaruhnya untuk mengadvokasi pembebasan Jason Rezaian, wartawan Washington Post yang dipenjara 18 bulan di Iran, dan Daniel Pearl, wartawan Wall Street Journal yang ditangkap ekstremis Islamis di Pakistan, dan kemudian dipenggal kepalanya tahun 2002.
"Muhammad Ali adalah hadiah dari Tuhan," ujar Nihad Awad, direktur eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam, "bukan hanya untuk Muslim tapi juga untuk dunia." [hd]