Aktivis Muslim di Amerika mengatakan mereka terjebak dua pergulatan sekaligus dalam waktu sama di Amerika. Mereka memerangi kelompok ISIS dan ekstremis lain yang berupaya merekrut orang Amerika sebagai teroris, sekaligus berusaha melawan Islamofobia - prasangka dan diskriminasi terhadap Muslim.
Panasnya situasi politik di Amerika dalam tahun pemilihan presiden dan intensitas radikal Muslim memaksa tokoh-tokoh Muslim berbenah diri guna melawan dua sentimen berbahaya itu.
Council On American-Islamic Relations (CAIR) atau Dewan Hubungan warga Amerika-Islam melaporkan 75 serangan terhadap masjid di Amerika tahun lalu, jumlah tertinggi yang pernah dicatat. Menurut CAIR, jumlah kerusakan properti dan intimidasi fisik tercatat kurang lebih sama dalam kejahatan rasial itu.
Hampir separuh dari lonjakan anti-Muslim itu terjadi setelah serangan oleh Muslim bersenjata di Paris 13 November lalu dan dua minggu kemudian, 2 Desember 2015, di San Bernardino, California.
Salah satu wujud anti-Muslim terjadi di kota terbesar kelima di Amerika, Philadelphia, di mana kepala babi dilempar ke Masjid Al-Aqsa pada 7 Desember.
Direktur Arab-American Development Corporation Philadelphia, Marwan Kreidie, berkantor di masjid itu. Insiden kepala babi - sikap untuk menghina Muslim, yang dilarang makan daging babi, menurut Kreidie, adalah kasus yang "sangat terisolasi" dan "sama sekali tak terduga."
"Insiden itu contoh nyata dan kuat akan Islamofobia – perlakuan anti-Muslim dan anti-Arab. Sikap itu benar-benar menyakiti," ujar Kreidie.
Namun, ia menambahkan, penodaan masjid mungkin menjadi bumerang bagi mereka yang bertanggungjawab, karena bukannya mengobarkan kebencian terhadap Muslim, umat semua agama di komunitas Philadelphia bersatu dalam mengutuk serangan itu, dan mereka bersama-sama menggelar upacara di mana mereka saling mendoakan akan perdamaian dan makan bersama.
Pada hari yang sama ketika masjid diserang, – bakal calon presiden dari Partai Republik Donald Trump menyampaikan pidato pertamanya, menuntut "penutupan total dan sepenuhnya" perbatasan Amerika bagi semua Muslim yang hendak masuk ke Amerika.
Pagi hari setelah pidato Trump di South Carolina, polisi di Grand Forks, North Dakota, memberitahu Ilham dan Omar Hassan bahwa restoran mereka telah dibakar semalam. Serangan terhadap Juba Restaurant and Coffee itu tercatat sebagai kejahatan rasial.
Hassan mengatakan, jelas baginya bahwa kedua insiden itu dilakukan "oleh seseorang yang memendam kebencian."
Jaylani Mohamed Hussein adalah ketua CAIR di negara bagian Minnesota. Ia mengatakan, "Kami percaya terjadi banyak insiden yang selama ini tidak dilaporkan."
"Di Minnesota, kami melihat banyak terjadi pelecehan di sekolah-sekolah" setelah komentar Donald Trump yang kontroversial itu. Orangtua Muslim dan anak-anak mereka melaporkan, pelajar lain telah "mengambil keuntungan" dari serangan komentar terbuka terhadap Muslim itu guna menyebarkan sentimen serupa di sekolah-sekolah.
Marwan Kreidie mengatakan kata-kata dan nada negatif menuai konsekuensi: "Para politisi seharusnya lebih dewasa. Mereka seharusnya memahami bahwa kata-kata memiliki konsekuensi. Kami membutuhkan orang-orang dalam posisi pemimpin memastikan mereka tidak menerima segala bentuk anti: Islamophobia, anti-Semitisme, anti-kulit hitam, apa saja." [ka/al]