Ramadan kali ini merupakan masa yang melelahkan bagi sejumlah Muslim penggali kubur di Mumbai, India. Mereka bekerja nyaris tanpa henti, dari pagi hingga malam, memenuhi tingginya permintaan kuburan, menyusul melonjaknya kasus virus corona di negara itu. Karena kewalahan, mereka pun mengabaikan protokol kesehatan.
Di masa pandemi COVID-19, protokol kesehatan boleh jadi merupakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan, setidaknya di banyak negara maju di dunia. Namun, tidak demikian halnya di India, khususnya di pekuburan Muslim di Mumbai.
Banyak penggali kubur di kota itu tidak lagi mengenakan alat pelindung diri (APD) saat menjalankan pekerjaan mereka. Menggali tanah tanpa APD mungkin masih bisa dipahami, tapi mengusung jenazah dan kemudian menguburkannya tanpa APD, sungguh di luar kebiasaan.
Sayyed Munir Kamruddin adalah satu di antaranya. Pria berusia 52 tahun itu kini menolak menggunakan APD.
“Awalnya, sekitar dua atau tiga bulan krisis COVID-19 berlangsung, saya mengenakan alat pelindung diri lengkap, termasuk sarung tangan. Tapi kemudian saya memutuskan untuk tidak lagi mengenakannya. Tidak ada efeknya terhadap saya.”
Pria yang telah 25 tahun bekerja sebagai penggali kubur ini memang belum pernah menunjukkan gejala-gejala tertular virus corona, atau jatuh sakit berat akibat virus itu.
Teman-teman Kamruddin, yang juga sebagai penggali kubur, mengikuti jejaknya. Mereka menyelesaikan pekerjaan mereka seperti masa-masa dulu, sebelum pandemi merebak.
Kamruddin menjelaskan, alasan utamanya mengabaikan protokol kesehatan tidak hanya karena ia tidak takut akan virus corona, tapi juga karena tuntutan kerjanya yang luar biasa tinggi.
Banyak Muslim di India bersikeras bahwa jasad keluarga atau kerabat mereka yang meninggal akibat COVID-19 harus ditangani sesuai ajaran Islam dan dikuburkan. Mereka umumnya menolak mengkremasi jenazah, sebagaimana dilakukan banyak penganut ajaran Hindu. Sesuai ajaran Islam, mereka juga menuntut agar jenazah dikuburkan sesegera mungkin.
Karena melonjaknya jumlah kasus dan jumlah kematian yang mengiringinya, permintaan akan kuburan juga meningkat. Tak heran, banyak di antara para penggali kubur yang bekerja nonstop siang dan malam. Tak jarang shift kerja mereka hampir sehari penuh.
Kamruddin, yang mengaku sebagai Muslim yang taat, terpaksa tidak berpuasa selama Ramadan.
“Ini Ramadan, saya tidak bisa berpuasa. Ini musim panas dan pekerjaan saya sangat berat, dan kami bekerja 24 jam setiap hari. Bagaimana saya bisa berpuasa dalam cuaca yang begitu panas? Saya merasa haus. Saya perlu menggali kuburan, Saya perlu menutupinya dengan lumpur, perlu mengusung mayat. Dengan semua pekerjaan ini, bagaimana saya bisa berpuasa?," jelasnya.
India sedang menghadapi gelombang kedua infeksi virus corona. Setiap hari selama seminggu terakhir setidaknya 300.000 orang dinyatakan positif, dan jumlah kematian akibat COVID-19 meningkat melebihi 18 juta.
Sistem kesehatan dan krematorium-krematorium kewalahan. Di New Delhi, ambulans membawa jenazah korban COVID-19 ke fasilitas-fasilitas krematorium darurat di taman-taman dan halaman-halaman parkir umum.
India juga sangat membutuhkan suplai oksigen. Banyak pasien COVID-19 tak tertolong karena keluarga mereka gagal mendapatkan oksigen. Shruti Saha, seorang warga New Delhi, mengalami situasi memprihatinkan ini. Ibunya wafat setelah Saha kelimpungan mencari orang yang menjual oksigen.
"Kami telah keluar dari rumah kami sejak jam 2 malam. Sulit mencari oksigen yang tersedia di New Delhi. Setelah mencari ke mana-mana, kami akhirnya menemukannya pada pukul 4 pagi. Awalnya ada antrean di sisi lain di ujung belakang, tapi kemudian kami diberitahu bahwa kami harus datang ke sisi depan dan berdiri dalam antrean di sini. Sekarang mereka bilang, ‘mana resep dari rumah sakit atau resep dokter’. Ibu saya sakit sangat serius dan selama dua hari terakhir ini kami telah berusaha mendapatkan tempat tidur di begitu banyak rumah sakit di Delhi," jelasnya.
India melaporkan 379.257 kasus COVID-19 baru dan 3.645 kematian baru pada Kamis (29/4), menurut data kementerian kesehatan. Dengan jumlah itu, India mencatatkan diri sebagai negara dengan jumlah kematian tertinggi dalam satu hari. [ab/uh]