Ramadhan adalah saat kebersamaan, dimana keluarga dan handai taulan menyempatkan diri berkumpul dan bersilahturahmi, menikmati bulan yang penuh berkah. Namun, tidak demikian halnya dengan para korban kekerasan rumah tangga. Mereka terpaksa berpisah jauh dari sanak kerabat, dan meratapi nasib di tempat-tempat penampungan.
Situasi seperti ini bahkan terasa lebih sulit bagi Muslimah (perempuan Muslim) pelarian dari luar Amerika. Banyak dari mereka melarikan diri ke Amerika untuk mencari perlindungan. Namun tidak banyak fasilitas penampungan yang memenuhi kebutuhan budaya dan agama mereka.
"Muslima Anisah" adalah salah satu rumah singgah bagi perempuan korban kekerasan dalam keluarga yang memahami keadaan itu. Berlokasi di Baltimore, Maryland, fasilitas ini menampung puluhan perempuan korban kekerasan yang umumnya imigran.
Menurut Asma Hanif, pengelola Muslima Anisah, “Mereka tidak punya tempat untuk dituju. Keluarga tidak menginginkan mereka, dan pria yang memukuli mereka tidak menginginkan mereka.”
Hanif, perempuan warga Amerika keturunan Afrika, mengatakan bahwa kekerasan dalam keluarga tidak memandang agama, namun tidak semua fasilitas penampungan para korban kekerasan ini mengerti kebutuhan Muslimah.
“Ada situasi-situasi yang tidak memungkinkan, seperti kehadiran pria yang bukan muhrim di tempat penampungan itu, atau tidak ada tempat untuk sembahyang, atau ada masalah dengan makanan,” jelas Hanif.
Tidak hanya kenyataan itu yang mendorong mantan perawat ini mendirikan Muslima Anisah. Sebagai perawat, ia telah menangani puluhan Muslimah korban kekerasan keluarga di klinik tempatnya bekerja dulu.
Menurut Hanif, para Muslimah yang mengungsi ke tempatnya datang dengan alasan yang beragam. Muslima Anisah, katanya, bukan hanya sebagai tempat pelarian atau perlindungan tapi juga tempat dimana mereka dapat hidup dan sembahyang tanpa orang-orang mempertanyakan keyakinan agama mereka.
Lebih jauh Hanif mengungkapkan, “Keprihatinan terbesar saya adalah, bila kita mengirim perempuan Muslim ke tempat penampungan yang dikelola orang-orang Kristen, orang-orang di sana akan berpikir bahwa agamalah yang menjadi sumber kekerasan dalam keluarga.”
Selama Ramadhan, menurut Hanif, tempat penampungannya menjalankan sejumlah aktivitas khusus seperti buka puasa bersama dan pengajian selepas tarawih. Pengajian itu katanya diperlukan untuk membangkitkan semangat dan menyadarkan bahwa Allah mencintai mereka dan masyarakat memperdulikan mereka.
Sebagai selingan, ia terkadang juga mengajak mereka pergi ke masjid untuk menghadiri acara buka puasa bersama.
“Saya tidak mau mereka merasa terisolasi selama Ramadhan. Kebanyakan muslim berkumpul dengan sesama Muslim selama bulan suci. Sayangnya, kami tidak memiliki transportasi yang memadai,” jelas Hanif.
Ya, transportasi adalah salah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Muslima Anisah. Rumah singgah berkapasitas 25 orang ini memiliki dana terbatas. Sumber keuangan rumah singgah ini hanyalah Hanif dan keluarganya, serta sumbangan dari masjid dan umat Islam yang peduli.