Penutupan akses internet besar-besaran di Rakhine, negara bagian yang dilanda konflik di Myanmar, memasuki minggu kelima hari Senin (22/7) ketika warga meminta pemerintah untuk menghentikan penutupan informasi ini yang oleh organisasi HAM dikatakan sebagai tameng pelanggaran hak asasi.
Operator seluler menangguhkan akses data internet pada 21 Juni di delapan kota di Rakhine utara dan negara bagian Chin di sebelahnya – di mana tentara sedang melawan kelompok pemberontak etnis Rakhine bernama Tentara Arakan (AA) yang menuntut otonomi yang lebih luas.
Pihak berwenang mengatakan internet digunakan untuk mengkoordinasikan operasi. Sementara organisasi hak asasi menuduh, pemutusan ini justru memungkinkan pasukan untuk bertindak dengan impunitas atau tanpa risiko menerima hukuman.
Namun, hal ini juga mengganggu kehidupan sehari-hari dan menebar ketakutan di kalangan warga yang kesulitan mendapatkan berita apa saja mulai dari bencana banjir hingga pertempuran kecil yang sedang berlangsung.
“Ini seperti pemadaman informasi,” Saw Oo dari kota Mrauk-U memberitahu AFP. Ia menambahkan bahwa orang-orang tidak dapat berbagi informasi detil mengenai kondisi cuaca selama musim hujan.
Penduduk kota Maungdaw, Hla Hla, menyatakan bahwa penggunaan kartu sim dari negara tetangga Bangladesh berisiko dan dapat berujung pada penangkapan.
“Kami benar-benar takut tertangkap,” katanya.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, militer telah mengucilkan seluruh desa dalam upayanya menumpas habis anggota AA dan para simpatisannya.
Militer mengkonfirmasi telah menembak mati enam tahanan di Rakhine pada akhir April, menyatakan bahwa anggotanya bertindak untuk membela diri.
Bagian utara Rakhine juga menjadi lokasi serangan brutal militer tahun 2017, menyebabkan lebih dari 740.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Penyelidik PBB telah menyerukan para jenderal petinggi Myanmar yang mengawasi serangan itu dituntut atas tuduhan pembunuhan masal.
Minggu lalu, Washington melarang pemimpin militer yang berkuasa, Min Aung Hlaing, melawat ke Amerika terkait perannya sebagai pemimpin dalam upaya “pembersihan etnis itu.”
Organisasi nirlaba Fortify Rights menyatakan penutupan akses internet ini adalah salah satu yang terlama di dunia dan telah berdampak pada kira-kira 1 juta warga.
“Meskipun dimaksudkan untuk menarget para militan, ini sangat tidak proporsional,” kata organisasi itu dalam pernyataan.
Namun Myo Swe, direktur jendral departemen pos dan telekomunikasi Myanmar, membela penutupan ini atas nama “kepentingan publik.”
“Kami belum tahu kapan (akses internet) akan dibuka lagi,” katanya.
Menurut laporan media pemerintah, AA menembakkan dua roket ke kapal-kapal angkatan laut yang sedang bersandar di lepas pantai Rakhine Utara pada hari Sabtu. Tidak ada korban yang jatuh. [pd/ka]