Juru bicara Presiden U Ye Htut memberitahu surat kabar Myanmar Freedom hari Jumat bahwa pemerintah tidak mau memperpanjang izin kerja organisasi itu berdasarkan Nota Kesepahaman karena kelompok itu kurang transparan.
Dalam wawancara dengan VOA siaran Bahasa Myanmar, Ye Htut, juru bicara pemerintah mengatakan kelompok itu telah diminta untuk menghentikan operasi sampai bisa merundingkan perjanjian dengan pemerintah Myanmar.
“Nota Kesepahaman antara pemerintah Myanmar dan MSF telah selesai sejak Januari 2013. Kita sedang dalam proses penandatanganan MOU baru. Sampai MOU baru ditandatangani, pemerintah Rakhine meminta MSF untuk menghentikan operasinya di negara bagian itu,” kata Ye Htut.
Sebelumnya, dia mengkritik kelompok itu karena mengatakan lebih dari 40 warga Rohingya tewas dalam sebuah serangan di daerah terpencil di sebelah utara negara bagian itu bulan lalu. Pemerintah berkeras bahwa hanya seorang polisi Buddha yang tewas.
Dokter Tanpa Tapal Batas mengatakan “sangat terkejut” dengan keputusan itu dan sangat khawatir dengan nasib puluhan ribu pasien yang kini sedang dirawatnya. Kelompok itu mengatakan kantor-kantornya tutup untuk pertama kalinya di Myanmar, dan para pasien tidak dapat menerima obat-obatan dan perawatan yang dapat menyelamatkan nyawa.
Dalam wawancara dengan VOA siaran Bahasa Myanmar, Ye Htut, juru bicara pemerintah mengatakan kelompok itu telah diminta untuk menghentikan operasi sampai bisa merundingkan perjanjian dengan pemerintah Myanmar.
“Nota Kesepahaman antara pemerintah Myanmar dan MSF telah selesai sejak Januari 2013. Kita sedang dalam proses penandatanganan MOU baru. Sampai MOU baru ditandatangani, pemerintah Rakhine meminta MSF untuk menghentikan operasinya di negara bagian itu,” kata Ye Htut.
Sebelumnya, dia mengkritik kelompok itu karena mengatakan lebih dari 40 warga Rohingya tewas dalam sebuah serangan di daerah terpencil di sebelah utara negara bagian itu bulan lalu. Pemerintah berkeras bahwa hanya seorang polisi Buddha yang tewas.
Dokter Tanpa Tapal Batas mengatakan “sangat terkejut” dengan keputusan itu dan sangat khawatir dengan nasib puluhan ribu pasien yang kini sedang dirawatnya. Kelompok itu mengatakan kantor-kantornya tutup untuk pertama kalinya di Myanmar, dan para pasien tidak dapat menerima obat-obatan dan perawatan yang dapat menyelamatkan nyawa.