Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengatakan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sudah masuk dalam kategori gawat darurat. Kata dia, hal tersebut terlihat dari sejumlah data tentang kekerasan seksual di kampus.
Pertama, data aduan Komnas Perempuan yang menyebut sebanyak 27 persen kekerasan seksual terjadi di pendidikan tinggi sepanjang 2015-2020. Kedua, survei Kemendikbud Ristek yang menunjukkan 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen di antaranya tidak melaporkan kasus yang diketahui tersebut kepada kampus.
"Kita bukan hanya pandemi COVID-19, tapi juga pandemi kekerasan seksual, dilihat dari data apapun," jelas Nadiem Makarim secara daring, pada Jumat (12/11/2021).
Nadiem menambahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada memiliki keterbatasan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. KUHP, misalnya, hanya mengenali bentuk pemerkosaan dan pencabulan, sementara kekerasan berbasis gender online yang rentan terjadi di lingkungan pendidikan tidak dikenali.
Karena itu, kata Nadiem, kementerian ingin memberikan payung hukum kepada perguruan tinggi agar dapat menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Fokus dari peraturan menteri ini adalah korban, korban, dan korban. Jadi kita lihat semuanya dari perspektif korban," tambah Nadiem.
Ia membantah Permendikbud 30 ini melegalkan tindakan asusila atau berbenturan dengan norma agama. Menurutnya, ketentuan tersebut tidak diatur dalam aturan ini karena terfokus pada kekerasan seksual. Kendati demikian, ia mengapresiasi kritik yang disampaikan masyarakat dan akan berdialog dengan sejumlah organisasi dalam beberapa bulan ke depan.
Nadiem berharap pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi dapat segera dilakukan. Satgas bertugas melakukan edukasi, penanganan laporan, pemantauan, dan evaluasi kekerasan seksual. Ia menargetkan satgas ini akan terbentuk di sekitar 30 persen perguruan tinggi negeri hingga Februari 2022.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengapresiasi penerbitan Permendikbud 30 tentang pencegahan kekerasan seksual di kampus. Ia beralasan aturan ini dibutuhkan untuk menjawab kasus kekerasan seksual yang terus meningkat setiap tahun. Selain itu, kata dia, aturan ini dapat menjadi payung hukum sementara menunggu pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tidak kunjung disahkan.
"Intinya adalah semua orang yang bisa melakukan sesuatu sesuai kapasitasnya harus segera bergerak. Karena angka ini bukan sekedar angka," jelas Bivitri Susanti.
Bivitri juga membantah bahwa aturan ini akan membuat penanganan kasus kekerasan seksual tidak tuntas. Sebab, aturan ini juga berbicara soal pencegahan dan penanganan, termasuk pendampingan korban.
Di lain kesempatan, Peneliti Institut Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mempertanyakan kelompok yang menolak Permendikbud 30 ini dengan alasan akan melegalkan seks bebas dan bertentangan dengan norma agama. Menurutnya, keyakinan atau kepercayaan yang menjadi privasi orang tidak perlu diatur dalam sebuah regulasi. Itu juga berarti aturan tentang seks bebas bukan berarti dibolehkan meski tidak diatur dalam Permendikbud 30.
"Misalnya negara tidak mengatur salat lima waktu, berarti boleh tidak salat lima waktu? Padahal yang mengikat kenapa kita percaya adalah hak asasi kita kepada agama. Kenapa harus kita kerdilkan kepercayaan kepada Tuhan diintervensi oleh negara," jelas Maidina kepada VOA, Kamis (11/11/2021).
Maidina menuturkan pemerintah juga telah melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam pembahasan Permendikbud 30. Ditambah lagi, kata dia, aturan ini muncul sebagai respons atas kekerasan seksual di perguruan tinggi. karena itu, ICJR menyambut baik penerbitan aturan ini di tengah ketiadaan regulasi setingkat undang-undang tentang pencegahan kekerasan seksual.
Muhammadiyah Minta Permendikbud 30 Dicabut
Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Lincolin Arsyad, melalui rilis (8/11) mengatakan, peraturan ini memiliki masalah formil dan materiil. Formil yaitu tidak memenuhi asas keterbukaan karena tidak melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses pembentukan dan mengatur muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang.
"Masalah Materiil yaitu Pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis ‘ketimpangan relasi kuasa’ mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor, padahal sejatinya multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi ‘mu’asyarah bil-ma’ruf’ (relasi kebaikan) berbasis ahlak mulia," tulis rilis Muhammadiyah pada (8/11/2021).
Muhammadiyah juga menilai frasa tanpa persetujuan korban mendegradasi substansi kekerasan seksual yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban. Selain itu, Muhammadiyah berpandangan aturan ini menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.
"Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak," kata pernyataan itu.
Untuk itu, Muhammadiyah merekomendasikan kementerian agar lebih akomodatif dalam menyusun kebijakan, serta mencabut atau mengubah Permendikbud 30 yang dinilai bermasalah. [sm/ab]