Berpakaian seperti mantan presiden Soekarno, bahkan dengan menggunakan replika mikrofon 1950an, kandidat presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, berseru pada ribuan pendukungnya dalam sebuah kampanye di Jakarta baru-baru ini: "Indonesia tidak dapat dibeli."
Tema nasionalistik ini telah meningkat dalam kampanye-kampanye partai-partai politik besar menjelang pemilihan legislatif pada 9 April dan pemilihan presiden pada 9 Juli.
Pertanyaan mengenai apakah Indonesia semakin tidak nyaman dengan dana asing yang telah membantu sebagian besar pertumbuhannya, dijadikan sorotan tahun ini dengan adanya aturan baru yang bertujuan meningkatkan keuntungan negara dengan melarang ekspor mineral kecuali sudah diproses terlebih dahulu.
"Untuk menangani globalisasi, Indonesia harus memiliki posisiyang lebih kuat... Kita harus menjamin bahwa kita independen, tidak hanya bergantung pada investasi asing," ujar Budiman Sudjatmiko, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Semua partai besar setuju mempertahankan undang-undang yang melarang ekspor bijih mineral meski ada kritikan dari Bank Dunia bahwa hal itu akan merusak perekonomian.
"Indonesia harus nasionalistik.. Tapi tidak berarti bahwa jika kepentingan nasional jadi kebijakan terdepan lalu perusahaan asing tidak dapat datang ke negara kita," ujar Burhanuddin Abdullah, mantan gubernur Bank Indonesia yang kini mengepalai dewan ahli di Gerindra.
Meski banyak pidato pemilu yang dibumbui xenofobia, semua partai besar berjanji untuk membahas lebih banyak tantangan ekonomi fundamental.
Hal itu termasuk defisit besar yang mengancam kepercayaan pada rupiah dan subsidi bahan bakar yang menggerogoti anggaran, di saat perkiraan pertumbuhan ekonomi telah melunak menjadi 5 persen tahun ini.
"Meningkatkan harga bahan bakar, namun secara perlahan, akan menjadi salah satu opsi. Kami akan membiarkan orang memilih, harga bahan bakar rendah tapi jalanan jelek atau harga bahan bakar tinggi dan jalanan membaik," ujar Harry Azhar Azis, anggota senior tim ekonomi Golkar.
Para investor yang berkomitmen atas pembangunan ekonomi yang lebih luas akan diminati. Yang lainnya akan melihat Indonesia kurang terbuka, ujarnya.
"Akan sedikit sulit... Terutama para investor yang hanya bermain di pasar portfolio, kecuali investasinya memiliki korelasi kuat dengan pembangunan industri," ujar Azis.
Direktur lembaga pemikiran PDI-P, Megawati Institute, Arif Budimanta, mengatakan negara ini seharusnya mengembangkan infrastruktur dan menarik investasi menjadi nilai tambah terhadap sumber-sumber daya alam negara, yang sebagian besar diekspor tanpa diproses lebih dulu.
"Harus ada sinergi. Dengan daya saing yang lebih baik, defisit saat ini akan perlahan membaik," ujarnya.
PDI-P ingin menghabiskan sekitar 20-30 persen anggaran, dari sekitar 11 persen saat ini, untuk infrastruktur, yang kelemahannya merupakan sebuah hambatan utama dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas potensinya.
"Kami akan memprioritaskan kualitas pertumbuhan, tidak hanya pertumbuhan namun juga bahkan distribusi," ujarnya.
Gerindra mengatakan pemerintah perlu kembali ke penekanan pada pertanian seperti pada 1970an untuk meningkatkan ekonomi. Partai ini berulangkali memperingatkan bahwa kesenjangan yang besar antara yang kaya dan yang miskin mengancam stabilitas sosial.
"Fokus program kami adalah pertanian dan pendidikan... Jika kita ingin mengembangkan industri kita, maka harus industri berbasis pertanian," ujar Burhanuddin.
Partainya ingin meningkatkan porsi anggaran untuk pertanian menjadi 5 persen dalam lima tahun, dari sekitar 2 persen saat ini. Bank-bank juga akan didesak untuk memberikan lebih banyak pinjaman pada sektor pertanian.
PDI-P juga menekankan pendidikan untuk populasi muda, sekitar setengahnya di bawah usia 30, karena sekolah-sekolah gagal menghasilkan pekerja yang bersaing dengan negara-negara tetangga.
Tingkat keterampilan harus meningkat agar warga dapat berkompetisi dengan orang luar yang datang ke pasar lapangan pekerjaan di Indonesia yang meningkat, ujar Arif. (Reuters)
Tema nasionalistik ini telah meningkat dalam kampanye-kampanye partai-partai politik besar menjelang pemilihan legislatif pada 9 April dan pemilihan presiden pada 9 Juli.
Pertanyaan mengenai apakah Indonesia semakin tidak nyaman dengan dana asing yang telah membantu sebagian besar pertumbuhannya, dijadikan sorotan tahun ini dengan adanya aturan baru yang bertujuan meningkatkan keuntungan negara dengan melarang ekspor mineral kecuali sudah diproses terlebih dahulu.
"Untuk menangani globalisasi, Indonesia harus memiliki posisiyang lebih kuat... Kita harus menjamin bahwa kita independen, tidak hanya bergantung pada investasi asing," ujar Budiman Sudjatmiko, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Semua partai besar setuju mempertahankan undang-undang yang melarang ekspor bijih mineral meski ada kritikan dari Bank Dunia bahwa hal itu akan merusak perekonomian.
"Indonesia harus nasionalistik.. Tapi tidak berarti bahwa jika kepentingan nasional jadi kebijakan terdepan lalu perusahaan asing tidak dapat datang ke negara kita," ujar Burhanuddin Abdullah, mantan gubernur Bank Indonesia yang kini mengepalai dewan ahli di Gerindra.
Meski banyak pidato pemilu yang dibumbui xenofobia, semua partai besar berjanji untuk membahas lebih banyak tantangan ekonomi fundamental.
Hal itu termasuk defisit besar yang mengancam kepercayaan pada rupiah dan subsidi bahan bakar yang menggerogoti anggaran, di saat perkiraan pertumbuhan ekonomi telah melunak menjadi 5 persen tahun ini.
"Meningkatkan harga bahan bakar, namun secara perlahan, akan menjadi salah satu opsi. Kami akan membiarkan orang memilih, harga bahan bakar rendah tapi jalanan jelek atau harga bahan bakar tinggi dan jalanan membaik," ujar Harry Azhar Azis, anggota senior tim ekonomi Golkar.
Para investor yang berkomitmen atas pembangunan ekonomi yang lebih luas akan diminati. Yang lainnya akan melihat Indonesia kurang terbuka, ujarnya.
"Akan sedikit sulit... Terutama para investor yang hanya bermain di pasar portfolio, kecuali investasinya memiliki korelasi kuat dengan pembangunan industri," ujar Azis.
Direktur lembaga pemikiran PDI-P, Megawati Institute, Arif Budimanta, mengatakan negara ini seharusnya mengembangkan infrastruktur dan menarik investasi menjadi nilai tambah terhadap sumber-sumber daya alam negara, yang sebagian besar diekspor tanpa diproses lebih dulu.
"Harus ada sinergi. Dengan daya saing yang lebih baik, defisit saat ini akan perlahan membaik," ujarnya.
PDI-P ingin menghabiskan sekitar 20-30 persen anggaran, dari sekitar 11 persen saat ini, untuk infrastruktur, yang kelemahannya merupakan sebuah hambatan utama dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas potensinya.
"Kami akan memprioritaskan kualitas pertumbuhan, tidak hanya pertumbuhan namun juga bahkan distribusi," ujarnya.
Gerindra mengatakan pemerintah perlu kembali ke penekanan pada pertanian seperti pada 1970an untuk meningkatkan ekonomi. Partai ini berulangkali memperingatkan bahwa kesenjangan yang besar antara yang kaya dan yang miskin mengancam stabilitas sosial.
"Fokus program kami adalah pertanian dan pendidikan... Jika kita ingin mengembangkan industri kita, maka harus industri berbasis pertanian," ujar Burhanuddin.
Partainya ingin meningkatkan porsi anggaran untuk pertanian menjadi 5 persen dalam lima tahun, dari sekitar 2 persen saat ini. Bank-bank juga akan didesak untuk memberikan lebih banyak pinjaman pada sektor pertanian.
PDI-P juga menekankan pendidikan untuk populasi muda, sekitar setengahnya di bawah usia 30, karena sekolah-sekolah gagal menghasilkan pekerja yang bersaing dengan negara-negara tetangga.
Tingkat keterampilan harus meningkat agar warga dapat berkompetisi dengan orang luar yang datang ke pasar lapangan pekerjaan di Indonesia yang meningkat, ujar Arif. (Reuters)