Seperti hari-hari besar keagamaan pada umumnya, di Amerika, Natal merupakan hari besar yang dirayakan dengan sangat meriah. Suasana Natal bahkan mulai terasa sejak sehari setelah hari Thanksgiving (Bersyukur) pada Kamis keempat bulan November yang mengawali musim belanja barang-barang keperluan untuk menyambut hari besar ini, termasuk lampu hias, pernak-pernik dan ornamen Natal, serta pakaian, peralatan elektronik, mainan anak-anak, dan barang-barang konsumen lainnya sebagai hadiah untuk kerabat dan sahabat.
Konon, menurut Departemen Perdagangan AS, tradisi memberikan hadiah dengan barang-barang konsumen menjelang Natal ini ikut memacu perekonomian dengan meramaikan kembali bisnis besar dan kecil setelah terpuruk selama pandemi. Keadaan demikian pada gilirannya ikut menggenjot produk domestik bruto.
Selain musim belanja, suasana Natal memang mulai terasa sejak akhir November ketika musik Natal mulai diputar di stasiun-stasiun radio. Rumah-rumah sebagian besar warga, perkantoran dan pertokoan serta jalan-jalan kota mulai dipercantik dengan hiasan lampu warna-warni dan ornamen musim liburan.
Kegemerlapan demikian tentu bisa menambah semaraknya suasana Natal, yang juga dirasakan oleh Tonny G. Tanos, seorang rohaniawan diaspora Indonesia yang telah bermukim di Amerika sejak tahun 2005 dan melayani sebagai Pendeta Senior di Grace Indonesian Christian Reformed Church di Silver Spring, Maryland, yang jemaatnya adalah warga Kristen diaspora Indonesia di Washington, D.C., Maryland, dan Virginia.
“Di Washington, D.C. area memang sejak hari Kamis keempat bulan November, satu hari sejak Thanksgiving itu kalau kita putar radio-radio kebanyakan sudah mulai (memutar) lagu Natal. Jadi, sejak akhir November sudah mulai ramai dengan penjualan pohon Natal, sudah mulai kedengaran lagu-lagu Natal, lampu-lampu dan dekorasi Natal terlihat di jalan-jalan. Ya begitu memang kalau dalam tanda kutip mulailah komersialisasi Natal itu akhir November," ujarnya.
Namun, gembala sidang dari tradisi Gereja Kristen Pasundan di sebuah kampung Kristen di Cianjur yang akrab dipanggil Abah Tonny ini juga melihat segi positif komersialisasi, yang menurutnya kemudian membuat perayaan Natal mengglobal, dengan munculnya keseragaman. Dia memberikan contoh bahwa hiasan dan pohon Natal di Amerika dan di Eropa kemudian juga sampai ke pelosok atau kampung-kampung terpencil di Indonesia. Dia juga melihat segi positif lainnya.
“Dekorasi Natal mungkin juga menghasilkan banyak UKM, usaha-usaha kecil yang baru yang kemudian membuat lampu-lampu Natal, hiasan Natal. Mungkin itu keuntungan sebagian masyarakat yang kemudian memanfaatkan dalam tanda kutip komersialisasi Natal itu," ujar AbahnTonny.
Abah Tonny mengakui bahwa terlalu mengkomersialisasi Natal akhirnya bisa membuat orang sibuk memikirkan hal-hal seperti bagaimana menyiapkan hiasan dan pohon Natal, bagaimana menyiapkan konsumsi, baju mana yang akan saya pakai. Dia khawatir bahwa semua kesibukan itu kemudian bisa menggeser makna Natal.
“Makna Natal yang sebenarnya yaitu kesederhanaan yaitu berita yang disampaikan dari surga untuk dunia ini, damai di Bumi. Sebenarnya berita-berita itu berita persaudaraan, kesederhanaan, seperti yang tercermin pada malam hari kelahiran bayi Yesus itu kan mestinya yang menjadi pesan, tapi budaya komersialisasi dalam tanda kutip kemudian mungkin mulai menggeser," ujar Abah Tonny.
"Tapi, apa boleh buat. Itu kerja saya, Romo Teguh dan pimpinan gereja-gereja di seluruh dunia untuk bagaimana pesan Natal tetap harus lebih mendapat yang lebih utama daripada komersialisasi itu," tambahnya.
Romo John Teguh Raharjo, CICM adalah rohaniwan diaspora Indonesia yang telah melayani Gereja Katolik di Amerika sejak 2002. Dia pernah berkarya di perbatasan antara Texas dengan Meksiko sebelum dipindah ke North Carolina. Kini dia menjadi pastor di sebuah Paroki di San Antonio, Texas di mana hampir 80% umatnya berbahasa Spanyol.
Mengenai suasana seputar Natal atau suasana menjelang Natal, dia mengatakan bahwa seperti kota-kota lain di Amerika, San Antonio, Texas juga berhias diri dengan asri dalam merayakan Natal. Namun, bersamaan dengan hiruk pikuk belanja dan gemerlapan menjelang Natal, dia juga mengamati adanya kesungguhan devosi umat yang dilayaninya, terutama para imigran dari Amerika Latin yang memiliki tradisi yang menarik sekitar perayaan menjelang Natal.
“Mulai 16 Desember sampai 24 Desember mereka selama sembilan hari merayakan yang namanya Las Posadas, sembilan hari perayaan menjelang Natal, memperagakan bagaimana Bunda Maria dan Yosef mencari tempat bernaung di Betlehem untuk kelahiran bayi Yesus. Jadi, peragaan bagaimana holy family of Nazareth mencari tempat untuk berlindung, tempat bernaung, tempat untuk singgah, memperagakan bagaimana komunitas imigran merayakan itu juga dalam konteks perjalanan hidup mereka. Jadi, banyak devosi-devosi yang dirayakan dalam komunitas-komunitas kami," paparnya.
Romo John Teguh mengakui adanya aspek komersialisasi Natal, tetapi dia juga melihat aspek positif yang menyertainya.
“Ada aspek komersialisasi, (tapi) kita lihat juga dengan kacamata yang positif, side by side, berdampingan dengan itu juga banyak perayaan Natal di komunitas kami yang juga sungguh-sungguh persiapan spiritual masa adven, masa persiapan. Kita ada retret-retret di paroki-paroki, di gereja-gereja. Memang ada perayaan hadiah-hadiah Natal, seolah-olah di Amerika Natal itu harus ada hadiah buat anak-anak, tapi juga dari itu banyak sekali aspek charity (karitas/amal), kedermawanan kepada orang-orang yang membutuhkan yang sering kali pada bulan Desember ini terasa lebih," paparnya.
Romo John Teguh menambahkan di gereja-gereja juga diadakan berbagai acara untuk mengumpulkan keluarga-keluarga kurang mampu, yang tidak bisa membeli hadiah Natal untuk anak anak mereka. Keluarga-keluarga yang mampu kemudian membantu yang kurang mampu.
Senada dengan aksi yang dilakukan di gereja yang dilayani oleh Romo John Teguh di San Antonio Texas, Abah Tony mengatakan bahwa dia juga menganjurkan kepada umat yang dilayaninya agar mereka menunjukkan kedermawanan dan kepedulian sosial bagi warga yang kurang beruntung, terutama para tunawisma di kota Washington, D.C.
“Kemajuan religiusitas seseorang yaitu membantu orang yang susah, membantu mereka yang membutuhkan perhatian kita, tidak harus tertuju pada hal-hal yang ritual saja. Itulah sebabnya, misalnya ketika minggu-minggu adven saya mengajak komunitas saya terutama anak-anak muda untuk datang ke tempat-tempat shelter, tempat orang kasih makan homeless (tunawisma). Bukankah untuk mereka juga Yesus datang ke dunia. Bukankah untuk mereka juga hati Tuhan kita, Gusti Allah, itu berada bagi mereka yang terpinggir, tersisih, termarjinalisasi?” ujar Romo John Teguh.
Romo John Teguh menggarisbawahi aspek karitas (amal) dengan mengatakan kedermawanan begitu banyak dirayakan melalui uluran tangan untuk mereka yang membutuhkan, yakni para tunawisma.
“Kami punya shelter (tempat penampungan) untuk membagikan makanan bagi keluarga-keluarga yang kurang mampu. Jadi betapa itu bagian dari perayaan dan nilai-nilai Kristiani. Hal yang juga menarik di Amerika, saya lihat bagaimana family values (nilai-nilai keluarga) itu sungguh dirayakan juga. Natal, keluarga-keluarga berkumpul untuk makan bersama," katanya.
"Jadi, betapa kumpul keluarga hal yang begitu simpel, tapi itu sungguh ada rasa perayaan sebagai keluarga, karena Natal juga perayaan keluarga Kudus: Yesus, Maria dan Yosef. Banyak nilai-nilai yang bisa kita ungkapkan dalam perbuatan. Natal adalah cinta kasih kepada orang-orang di sekitar kita, tindakan nyata belas kasih yang kita wujudkan," tambah dia.
Sebagai pesan Natal, Abah Tony mengharapkan adanya kedamaian dan solidaritas di antara seluruh rakyat Indonesia.
“Mari kita pelihara solidaritas kita, menjaga perdamaian di antara kita walaupun kita berbeda, plural di Indonesia, tetapi kita harus melihat itu sebagai sebuah kekayaan yang tidak harus membuat kita saling bermusuhan. Tapi, sesuai pesan Natal, mari kita saling memelihara kasih Allah dalam kita membangun relasi dengan sesama kita.”
Sementara Romo John Teguh mengharapkan pesan damai Natal bisa mempererat tali persaudaraan di antara sesama warga NKRI.
“Semoga Natal senantiasa membawa damai, merayakan Natal di tanah air, di NKRI – salam NKRI – dengan kesejukan, dan tentunya untuk Indonesia yang juga terdiri dari berbagai warna, kebudayaan, dan tradisi senantiasa menjadikan momen-momen seperti ini untuk merajut kebhinekaan sebagai satu bangsa, dan perayaan Natal seperti ini juga menjadi kesempatan untuk semakin mempererat kebersamaan, persaudaraan, dan belas kasih kepada sesama,” katanya. [lt/em]
Forum