Isu Iklim
- Associated Press
Negara-negara Kepulauan Ajukan Kasus Perubahan Iklim ke Pengadilan Tinggi PBB
Sebuah kasus perubahan iklim yang bersejarah, dibuka di pengadilan tertinggi PBB (ICJ) di Den Haag, Senin (2/12) ketika beberapa negara kepulauan kecil cemas akan naiknya air laut. Mereka mengatakan kepada pengadilan tersebut bahwa mereka yakin perubahan iklim membahayakan kelangsungan hidup mereka.
Pengadilan yang berpusat di Den Haag, Belanda, akan mendengarkan pendapat 99 negara dan lebih dari selusin organisasi antar pemerintah selama dua minggu. Itu adalah jumlah peserta terbesar dalam hampir 80 tahun sejarah Mahkamah Internasional (ICJ).
Setelah bertahun-tahun melakukan lobi, Majelis Umum PBB tahun lalu meminta pendapat ICJ mengenai “kewajiban negara dalam kaitannya dengan perubahan iklim.”
Dalam sesi pembukaan sidang selama dua minggu, Jaksa Agung negara kepulauan Vanuatu, Arnold Kiel Loughman mengatakan, kelangsungan hidup “rakyat saya dan banyak orang lainnya dipertaruhkan.”
“Sebagai pejabat hukum utama di negara saya, saya datang ke pengadilan ini karena upaya hukum di dalam negeri tidak mampu mengatasi krisis sebesar ini,” sebutnya.
Keputusan apa pun yang diambil oleh pengadilan, akan menjadi masukan yang tidak mengikat dan tidak secara langsung bisa memaksa negara-negara kaya untuk mengambil langkah membantu negara-negara yang menghadapi kesulitan.
Arnold Kiel Loughman menambahkan, “Negara-negara berkewajiban untuk bertindak dengan tekun, untuk mencegah kerusakan sangat besar yang merugikan lingkungan, men-cegah, mengurangi emisi dan memberi dukungan kepada negara-negara seperti negara saya, untuk melindungi hak asasi manusia generasi kini dan berikutnya.”
Keputusaan ICJ lebih dari sekedar simbol yang kuat, karena dapat men-jadi dasar tindakan hukum lainnya, termasuk tuntutan hukum di dalam negeri.
Dalam satu dasawarsa hingga tahun 2023, permukaan air laut di dunia meningkat rata-rata 4,3 sentimeter, dan sebagian wilayah Pasifik masih meningkat lebih tinggi.
Dunia juga mengalami pemanasan sebesar 1,3 derajat Celcius sejak masa pra-industri, akibat pembakaran bahan bakar fosil.
Sebelum bersidang, para hakim diberi penjelasan tentang ilmu penge-tahuan di balik kenaikan suhu dunia oleh badan perubahan iklim PBB, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim. [ps/ab]
See all News Updates of the Day
- Associated Press
Kasus Perubahan Iklim akan Disidangkan di Mahkamah Pidana Internasional PBB
Setelah lobi bertahun-tahun oleh negara-negara kepulauan yang khawatir akan lenyap begitu saja akibat naiknya permukaan air laut, Majelis Umum PBB tahun lalu meminta pendapat Mahkamah Pidana Internasional (ICJ) tentang “kewajiban Negara-negara terkait perubahan iklim.”
Mahkamah tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menangani kasus terbesar dalam sejarahnya pada Senin (2/12), ketika membuka sidang yang akan berlangsung selama dua minggu mengenai apa yang secara hukum harus dilakukan negara-negara di seluruh dunia untuk memerangi perubahan iklim dan membantu negara-negara yang rentan melawan dampak buruknya.
Setelah lobi bertahun-tahun oleh negara-negara kepulauan yang khawatir akan lenyap begitu saja akibat naiknya permukaan air laut, Majelis Umum PBB tahun lalu meminta pendapat Mahkamah Pidana Internasional (ICJ) tentang “kewajiban Negara-negara terkait perubahan iklim.”
“Kami ingin pengadilan mengonfirmasi bahwa tindakan yang telah merusak iklim adalah melanggar hukum,” kata Margaretha Wewerinke-Singh, yang memimpin tim hukum untuk Vanuatu, negara kepulauan di Pasifik, kepada kantor berita Associated Press.
Dalam satu dekade hingga 2023, permukaan laut telah naik dengan rata-rata global sekitar 4,3 sentimeter, dan beberapa bagian di Pasifik naik lebih tinggi lagi. Dunia juga telah menghangat 1,3 derajat Celsius sejak masa pra-industri karena pembakaran bahan bakar fosil.
Vanuatu adalah salah satu dari sekelompok negara kecil yang mendorong intervensi hukum internasional dalam krisis iklim.
“Kami hidup di garis depan dari dampak perubahan iklim. Kami adalah saksi dari kehancuran tanah kami, mata pencaharian kami, budaya kami, dan hak asasi kami,” kata utusan perubahan iklim Vanuatu Ralph Regenvanu kepada wartawan sebelum sidang.
Setiap keputusan mahkamah akan menjadi nasihat yang tidak mengikat dan tidak dapat secara langsung memaksa negara-negara kaya untuk bertindak membantu negara-negara yang sedang berjuang. Namun, keputusan itu akan menjadi lebih dari sekadar simbol yang kuat karena dapat berfungsi sebagai dasar untuk tindakan hukum lainnya, termasuk gugatan hukum domestik.
Pada hari Minggu (1/12), menjelang sidang, kelompok advokasi menyatukan organisasi lingkungan dari seluruh dunia. Kelompok Mahasiswa Kepulauan Pasifik Melawan Perubahan Iklim — yang pertama kali mengembangkan gagasan untuk meminta opini penasihat — bersama dengan Pemuda Dunia untuk Keadilan Iklim merencanakan aksi sore hari dengan pidato, musik, dan diskusi.
Mulai hari Senin, mahkamah yang berpusat di Den Haag itu akan mendengarkan keterangan dari 99 negara dan belasan organisasi antarpemerintah selama dua minggu. Ini adalah sidang terbesar dalam sejarah lembaga itu yang hampir berusia 80 tahun. [lt/ka]
Badai Bora Banjiri Rumah dan Jalanan di Pulau Rhodes, Yunani
Hujan deras membanjiri rumah-rumah, sejumlah tempat usaha, dan jalan-jalan di pulau wisata populer Yunani, Rhodes, pada hari Minggu (1/12), memaksa pihak berwenang untuk sementara melarang penggunaan kendaraan saat Badai Bora menghantam negara itu untuk hari kedua.
Pada hari Sabtu (30/11), seorang pria tewas dalam banjir bandang yang melanda pulau Yunani lainnya di wilayah Aegea utara.
Dinas pemadam kebakaran menerima lebih dari 650 panggilan untuk memompa air keluar dari bangunan-bangunan yang banjir di Pulau Rhodes dan mengevakuasi 80 orang ke tempat yang lebih aman. Kota Ialysos di pulau tersebut dinyatakan menjadi wilayah paling parah yang terdampak banjir. Tidak ada korban luka yang dilaporkan.
Mobil-mobil dan puing-puing menumpuk tinggi di jalan-jalan Rhodes yang terendam air, dan penduduk berusaha membersihkan lumpur dari properti mereka yang tergenang air.
“Situasinya tragis, beberapa orang kehilangan rumah, beberapa orang mengungsi, mobil-mobil kami dalam kondisi yang mengerikan,” kata Sofia Kanelli di Ialysos.
Juru bicara pemadam kebakaran Vassilis Varthakogiannis mengatakan kepada SKAI TV Yunani bahwa cuaca buruk akan berlanjut pada hari Senin (2/12).
Negara di kawasan Mediterania itu telah dilanda banjir dan kebakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir, dan para ilmuwan mengatakan bahwa Yunani telah menjadi “pusat” bagi perubahan iklim.
“Kondisi dalam beberapa tahun terakhir berbeda; kami mengalami hujan lebat dan banjir mendadak,” kata Varthakogiannis.
Pada tahun 2023, lebih dari 20.000 wisatawan dan penduduk setempat terpaksa meninggalkan rumah dan hotel di tepi pantai karena kebakaran hutan yang berlangsung selama berhari-hari.
Badai petir dan hujan lebat juga mengganggu layanan kereta api di daratan utama Yunani, terutama di bagian tengah dan utara negara tersebut. [lt/ka]
- Leonard Triyono
VOA Headline News: Kasus Perubahan Iklim akan Disidangkan di Mahkamah Pidana Internasional PBB
Taliban: Afghanistan Harus Ikut Serta dalam Pembicaraan Iklim Mendatang
Dirjen Badan Perlindungan Lingkungan Afghanistan, Matiul Haq Khalis, mengatakan “Afghanistan harus berpartisipasi dalam konferensi semacam itu di masa depan.” Dia menggambarkan kehadiran Afghanistan pada perundingan bulan lalu sebagai “pencapaian besar.”
Seorang pejabat lingkungan hidup Afghanistan pada Minggu (1/12) mengatakan negaranya harus diizinkan untuk berpartisipasi dalam pembicaraan iklim global di masa depan. Hal ini disampaikannya setelah kembali dari KTT Iklim (COP29) di Baku, Azerbaijan, di mana para pejabat Taliban hadir untuk pertama kalinya.
Delegasi Afghanistan diundang sebagai “tamu” tuan rumah Azerbaijan, bukan sebagai pihak yang terlibat langsung dalam perundingan. Ini adalah pertama kalinya delegasi Afghanistan hadir sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, setelah gagal mendapatkan undangan pada dua COP sebelumnya yang diselenggarakan di Mesir dan Uni Emirat Arab.
Berbicara dalam konferensi pers pada Minggu, Dirjen Badan Perlindungan Lingkungan Afghanistan, Matiul Haq Khalis, mengatakan “Afghanistan harus berpartisipasi dalam konferensi semacam itu di masa depan.” Dia menggambarkan kehadiran Afghanistan pada perundingan bulan lalu sebagai “pencapaian besar.”
“Kami berpartisipasi dalam konferensi tahun ini sehingga kami dapat menyuarakan suara bangsa mengenai permasalahan yang kami hadapi dan apa kebutuhan warga Afghanistan. Kami harus menyampaikan hal-hal ini kepada dunia,” ujarnya.
Matiul menjelaskan bahwa delegasi Afghanistan mengadakan pertemuan dengan “19 organisasi dan pemerintah berbeda,” termasuk delegasi dari Rusia, Qatar, Azerbaijan dan Bangladesh.
Paling Rentan Terdampak Pemanasan Global
Afghanistan adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap pemanasan global, meskipun emisinya minimal, dan pemerintah Taliban menilai isolasi politik terhadap negara mereka seharusnya tidak menghalangi untuk ikut melakukan pembicaraan iklim internasional.
Pemerintah Afghanistan telah menerapkan hukum syariah Islam yang ketat sejak mengambil alih kekuasaan, dengan sangat membatasi partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. PBB menyebut kebijakan itu sebagai “apartheid gender.”
Di antara negara-negara termiskin di dunia setelah perang selama beberapa dekade, Afghanistan adalah negara yang paling terdampak perubahan iklim, yang menurut para ilmuwan memicu cuaca ekstrem termasuk kekeringan berkepanjangan, seringnya banjir, dan produktivitas pertanian yang menurun.
PBB juga menyerukan tindakan untuk membantu Afghanistan membangun ketahanan dan partisipasi negara itu dalam berbagai perundingan internasional. Negara-negara maju telah berkomitmen untuk menyediakan US$100 miliar per tahun dalam pendanaan iklim hingga tahun 2025 untuk membantu negara-negara berkembang bersiap menghadapi dampak iklim yang semakin buruk dan menghentikan ketergantungan perekonomian mereka dari bahan bakar fosil. [em/ab]
Forum