Setelah terhenti sejak Januari 2014, akhirnya ekspor konsentrat tembaga dari PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) kembali dilanjutkan setelah mengantongi izin dari pemerintah.
Izin tersebut dikeluarkan pekan lalu setelah pemerintah mendapat kepastian bahwa Newmont akan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) dan terkait beberapa aturan lain diantaranya pajak ekspor dan royalti.
Direktur NNT, Martiono Hadianto mengatakan, pekan ini Newmont akan mengekspor konsentrat tembaga yang menumpuk di gudang secara bertahap ke negara-negara yang selama ini menjadi tujuan ekspor perusahaan.
“ini kan di gudang karena tidak bisa ekspor, jadi yang diekspor yang di gudang dulu, cukup banyak. Kita sudah punya komitmen ekspor kan sejak lama, tradisinya ke Jepang, Korea Selatan, ke China," ujarnya.
Dalam pasal 170 Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba ditegaskan bahwa setiap pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian, dan berarti sebuah perusahaan tambang atau bekerjasama dengan perusahaan tambang lain harus membangun smelter.
Ketetapan tersebut harus dipenuhi paling tidak lima tahun setelah undang-undang disahkan.
Perusahaan tambang juga dilarang mengekspor sebelum pemerintah mendapat kepastian akan membangun smelter. Kondisi tersebut membuat Newmont menghentikan produksi pada Juni karena stok konsentrat tembaga milik Newmont sudah mencapai 94 ribu ton, sementara kapasitas gudang hanya mampu menampung 90 ribu ton.
Akibat produksi terhenti, sekitar 3.500 karyawan Newmont dirumahkan.
Seperti halnya dilakukan PT. Freeport Indonesia, Newmont akan melakukan pengolahan dan pemurnian bahan mentah mineral melalui PT. Smelting Gresik di Jawa Timur.
Dengan keluarnya izin ekspor diperkirakan hingga akhir 2014 Newmont mampu mengekspor 215 ribu ton konsentrat tembaga dan memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 124 ribu ton.
Total ekspor tersebut masih di bawah kemampuan ekspor yang dilakukan Newmont selama ini sekitar 700 ribu ton konsentrat tembaga per tahun.
Izin ekspor dikeluarkan pemerintah untuk Newmont, setelah Newmnot sepakat menyediakan uang jaminan sebesar US$25 juta dolar sebagai bentuk kesungguhan membangun smelter.
Selain itu Newmont juga sepakat membayar royalti 4 persen untuk tembaga, 3,75 persen untuk emas dan 3,25 persen untuk perak, serta pajak ekspor sebesar 7,5 persen.
Dengan keluarnya izin agar Freeport dan Newmont kembali melakukan ekspor konsentrat tembaga, jika dikalkulasikan kedua perusahan tambang milik Amerika Serikat tersebut mendapat pemasukan hingga akhir 2014 sebesar $3,5 milyar atau sekitar Rp 41 trilyun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Chatib Basri optimistis kegiatan ekspor perusahaan-perusahaan tambang akan membantu menekan defisit transaksi berjalan. Realisasi transaksi berjalan tahun lalu terjadi defisit sebesar $29 milyar, namun Chatib memperkirakan tahun ini turun menjadi sekitar $26 milyar.
Sepanjang sejarah, Indonesia mengalami surplus transaksi berjalan pada 1971 dan 1981 dengan pertumbuhan ekonomi saat itu mencapai 7,1 persen.