Untuk pertama kalinya dalam sejarah Pakistan, nilai mata uang negara tersebut anjlok hingga lebih dari 300 rupee per satu dollar Amerika Serikat. Kondisi itu meningkatkan kekhawatiran akan semakin mahalnya barang-barang kebutuhan sehari-hari karena konsumen menghadapi inflasi yang kian meningkat.
Penurunan terbaru terjadi pada Kamis (24/8) setelah rupee jatuh ke titik terendah dalam dua hari terakhir ini. Rupee Pakistan telah kehilangan lebih dari sepertiga nilainya terhadap dollar AS dalam setahun terakhir seiring upaya keras negara itu mengatasi tumpukan utang.
Para pakar mengatakan nilai rupee terdepresiasi karena meningkatnya permintaan akan dollar setelah pembatasan impor, yang diberlakukan oleh pemerintah tahun lalu untuk menyelamatkan cadangan dollar yang menipis, berakhir pada bulan Juni.
"Karena tidak terjadi impor, kami dapat menopang nilai rupee, secara artifisial, terhadap dolar AS," ujar ekonom Ammar Habib Khan kepada VOA. Khan adalah peneliti senior non-residen yang berbasis di Pakistan di lembaga Atlantic Council yang berkantor di Washington.
Membuka impor merupakan syarat bagi Pakistan untuk mendapatkan dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar US$3 miliar yang sangat dibutuhkan oleh negara itu. Kesepakatan tersebut dicapai pada bulan Juli setelah beberapa putaran negosiasi yang alot di mana pihak pemberi pinjaman menuntut reformasi ekonomi yang masif.
Dana talangan itu menyelamatkan Pakistan dari gagal bayar dan membuka jalan bagi pinjaman dan investasi bernilai miliaran dolar dari sekutu lama China, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab; yang tentunya meningkatkan cadangan dolar.
Namun kebanyakan orang Pakistan sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka karena inflasi mencapai angka 29 persen. Pemangkasan subsidi untuk mendapatkan dana IMF membuat harga bahan bakar mencapai rekor tertinggi dalam sejarah, demikian pula harga listrik, meskipun telah terjadi penurunan permintaan.
Prof. Syed Ali Hasanain di Lahore University of Management Sciences, mengatakan kepada VOA, penurunan nilai rupee yang berkelanjutan menunjukkan bahwa Pakistan sedang berjuang untuk memperbaiki krisis neraca pembayaran.
"Negara ini telah sejak lama mengimpor lebih banyak dari yang diekspor, sebagai konsekuensi dari pengabaian reformasi struktural selama beberapa dekade," ujar Hasanain.
Pakistan, yang berpenduduk sekitar 240 juta orang, sangat bergantung pada impor. Meskipun pembatasan impor membantu menyelamatkan cadangan dolar yang berharga, hal tersebut juga menyebabkan penurunan ekspor karena para produsen bergantung pada mesin-mesin dan bahan baku impor untuk produksi.
Tahun lalu Pakistan terguncang oleh banjir besar, ketidakstabilan politik yang parah, dan guncangan ekonomi akibat pandemi COVID-19. [em/lt]
Forum