Munculnya gerakan masyarakat sipil yang menghendaki tetap dipertahankannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhinneka Tunggal Ika, serta Pancasila dan UUD 1945, didasari munculnya kelompok yang ingin mengganti bentuk dan dasar negara menjadi Khilafah atau negara berdasarkan agama.
Menurut tokoh agama Tao di Surabaya, Sidharta Adhimulya, masyarakat harus bangkit melawan segala bentuk upaya yang ingin mengubah bentuk negara Indonesia, yang menghargai budaya, agama dan keyakinan serta suku di dalamnya yang beraneka ragam.
"Jadi segala yang terkait dengan nilai-nilai adiluhung nusantara itu berusaha dihilangkan. Jangan sampai kemudian orang Jawa sungkem (hormat sambil mencium tangan) sama ayah ibunya itu diharamkan, kemudian pakai konde (gelung rambut) atau apa dikatakan itu haram,” ujar Sidharta.
Tofan Hidayat dari Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jawa Timur mengatakan, kemerdekaan yang diraih Indonesia adalah buah dari perjuangan semua elemen bangsa, yang didalamnya terdapat berbagai macam suku, agama, dan bahasa yang berbeda-beda. Perjuangan semua elemen bangsa ini harus dihargai, sebagai sebuah perjuangan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Karena Indonesia merdeka itu segala suku, segala agama itu ikut berjuang, jadi kita ini mau satu keutuhan bangsa ini,” kata Tofan.
Kesenjangan ekonomi, serta kurang meleburnya satu elemen masyarakat dengan elemen yang lain, menjadi isu yang dihembuskan untuk memecah belah bangsa Indonesia saat ini.
Wakil Ketua Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur, Hasan Bisri mengatakan, perlu dilakukan banyak kegiatan sosial yang melibatkan semua elemen bangsa, tanpa melihat latar belakang dan tingkat ekonomi. Hal ini untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan, di antara warga bangsa yang beraneka ragam.
“Kita membantu korban bencana bareng-bareng, sesama warga ada yang muslim, non-muslim, ada yang pengusaha, ada yang bukan pengusaha, bareng-bareng, bersama-sama. Lalu kemudian kegiatan sosial-sosial yang lain di daerah-daerah yang sangat membutuhkan, itu akan sangat lebih baik dan mengena sekali dalam rangka menjaga keutuhan bangsa, menjaga Bhinneka Tunggal Ika, menjaga hubungan sosial kemasyarakatan ini agar tidak terjadi gesekan,” tandas Hasan Bisri.
Maraknya paham radikal dan ajaran intoleran di Indonesia yang banyak dianut generasi muda masa kini, tidak dapat dilepaskan dari telah menyebarnya paham itu di berbagai sendi kehidupan.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj mengatakan, penyebaran paham radikal dan intoleran salah satunya masuk melalui khotbah di masjid-masjid, yang seharusnya dapat dikontrol oleh Dewan Masjid Indonesia yang diketuai oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
“Khotbah itu kan harus mengingatkan masyarakat atau jamaah agar lebih bertaqwa, berakhlak, beribadah dengan baik, bukan caci maki, khotbah kok caci maki. Kalau pidato diluar khitbah, ya itu terserah you-lah, kalau mau caci maki orang di luar khotbah. Kalau yang khotbah Jumat, gak sah sholat Jumatnya,” ungkap Said Aqil.
Said Aqil Siradj berharap, masyarakat Indonesia dapat kembali kepada prinsip dasar dalam bernegara, yaitu Pancasila. Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar, akan tetap mendukung Pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Ya mari kembali kepada prinsip yang sudah kita sepakati bersama, yaitu Pancasila. Kalau masing-masing akan menonjolkan (ideologi) masing-masing ya begini jadinya. Pancasila itu sudah mengandung nilai-nilai Islam, kalau kita bicara Islam. Ketuhanan, persatuan ukuwah, keadilan, kebangsaan, kemudian musyawarah, semua prinsip Islam semua, yang bertentangan apanya sih. Saya akan selalu menjaga, mengawal, bersama-sama warga NU yang dimana pun berada, kyai-kyai, keutuhan dan keselamatan NKRI dan Pancasila,” tambahnya. [pr/em]