Dalam pidato terakhirnya di PBB hari Selasa (20/9), Presiden Barack Obama menegaskan komitmen kuatnya atas multilateralisme dan badan dunia itu.
“Kita bisa memilih untuk maju dengan model kerjasama dan integrasi yang lebih baik atau kita bisa mundur menjadi dunia yang terpecah tajam dan akhirnya dalam konflik lama negara, kesukuan, ras dan agama,”, ujar Obama di hadapan para pemimpin dunia Selasa pagi.
“Saya menyerukan kepada Anda bahwa kita harus maju terus dan bukan mundur,” tegasnya.
Presiden Obama – yang masa jabatannya akan berakhir pada Januari mendatang – berbicara tentang kemajuan yang dicapai dalam delapan tahun masa jabatannya, termasuk mengurangi kemiskinan ekstrem, menyelesaikan isu nuklir Iran, membuka kembali hubungan diplomatik dengan Kuba dan menyetujui perjanjian perubahan iklim internasional.
“Ini merupakan pekerjaan penting yang telah membuat perbedaan nyata pada kehidupan warga kita dan ini tidak akan terjadi jika kita tidak bekerjasama,” ujarnya. Tetapi Obama mengingatkan bahwa ada kekurangan dalam aturan internasional yang menimbulkan krisis pengungsi besar-besaran, gangguan ekonomi dan ketidakamanan.
Obama berbicara selama 45 menit. Biasanya Amerika berbicara pada urutan kedua, tetapi presiden terlambat tiba di lokasi dan presiden Majelis Umum telah meminta pembicara ketiga – yaitu Presiden Chad Idriss Deby – berbicara terlebih dahulu.
Penasihat Keamanan Nasional AS, Ben Rhodes mengatakan pidato itu menjadi kesempatan bagi Presiden Obama untuk “mengevaluasi kemajuan yang telah dicapai selama delapan tahun terakhir,” dan juga untuk mengatasi “banyak kegelisahan tentang berbagai isu” yang masih ada di depan masyarakat internasional saat ini.
Sebelumnya, pada Selasa pagi, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon membuka perdebatan Majelis Umum dengan imbauan untuk mengakhiri konflik di Suriah.
Ban Ki-Moon untuk terakhir kalinya membuka pertemuan tahunan sidang Majelis Umum PBB. Ia telah mengabdi selama sepuluh tahun dan masa jabatannya akan segera berakhir.
Ban meluapkan kemarahan yang sudah dipendamnya selama bertahun-tahun kepada para pemimpin dan negara yang telah menimbulkan penderitaan dan konflik di seluruh dunia.
Ban secara khusus menyampaikan kemarahan pada Presiden Suriah Bashar Al Assad, merujuk pada gelombang serangan terhadap konvoi bantuan kemanusiaan hari Senin (19/9) yang menewaskan 20 orang.
“Ketika kita mengira situasi tidak akan bertambah buruk, tingkat kebejatan anjlok lebih jauh lagi,” ujar Ban. Ditambahkannya, “Petugas bantuan kemanusiaan yang menyampaikan bantuan untuk menyelamatkan nyawa adalah pahlawan. Mereka yang membom adalah pengecut.”
PBB terpaksa menangguhkan konvoi bantuan karena serangan tersebut.
“Transisi politik sudah lama berakhir. Setelah terjadi begitu banyak aksi kekerasan dan ketidak-efesienan dalam pemerintahan, masa depan Suriah seharusnya tidak tergantung pada satu orang saja," tegas Ban merujuk pada Bashar Al Assad.
Sekjen PBB itu juga menunjukkan ‘’penyesalan dan kesedihan’’ terhadap dua penderitaan yang terjadi pada masa kepemimpinannya yaitu wabah kolera di Haiti, dan pelanggaran serta eksploitasi seksual warga sipil oleh pasukan asing dan PBB di Afrika. [lt/em]