Sebagai langkah antisipasi atas munculnya varian baru virus corona Omicron di tanah air, yang terdeteksi pada Rabu (15/12), Presiden Joko Widodo meminta semua masyarakat, terutama yang belum mendapat satu dosis pun vaksin COVID-19, untuk menjalani vaksinasi.
Ia mengatakan masuknya varian Omicron ke Indonesia adalah sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, karena salah satu karakter virus ini memiliki tingkat penularan yang sangat cepat.
“Sejauh ini varian Omicron belum menunjukkan karakter yang membahayakan nyawa pasien terutama pasien-pasien yang sudah mendapatkan vaksin. Oleh sebab itu saya meminta semua warga yang belum mendapatkan dua kali vaksin, apalagi yang sama sekali belum divaksin, segeralah mendatangi fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksin,” ungkap Jokowi dalam telekonferensi pers di Jakarta, pada Kamis (16/12).
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun meminta kepada masyarakat untuk tidak khawatir dan panik yang berlebihan namun tetap waspada. Jokowi menilai semua pihak harus bekerja sama agar Omicron tidak meluas di Indonesia.
“Jangan sampai terjadi penularan lokal. Kita harus berupaya menjaga situasi di Indonesia tetap baik, kita pertahankan jumlah kasus aktif agar tetap rendah, tingkat penularan kita awasi agar bertahan di bawah satu, jangan sampai itu melonjak lagi. Waspada penting, tapi jangan perkembangan ini membuat kita panik,” tuturnya.
Tidak lupa, Jokowi pun mengimbau kepada semua pihak untuk tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan. Kepada pemerintah daerah, ia menekankan untuk segera meningkatkan testing dan pelacakan kontak erat kasus positif.
“Saya minta seluruh warga maupun pejabat negara untuk menahan diri tidak bepergian ke luar negeri paling tidak sampai situasi mereda,” tuturnya.
Tidak Perlu “Lockdown”
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan memang masuknya Omicron ke Indonesia hanya masalah waktu. Senada dengan pemerintah, Dicky menjelaskan bahwa keseriusan dalam penguatan strategi penanganan pandemi adalah yang dibutuhkan saat ini ketimbang rasa panik yang berlebihan dalam merespon munculnya Omicron di dalam negeri.
“Tidak perlu ada lockdown dan sebagainya, yang penting adalah penguatan respon baik itu di perbatasan, 3T, 5M dan vaksinasi,” ungkap Dicky kepada VOA.
Maka dari itu, pemerintah menurutnya harus bergerak cepat dalam mencari kontak erat dari kasus pertama Omicron yang terdeteksi di fasilitas karantina Wisma Atlet. Ia menduga yang sudah terpapar Omicron di sana sudah lebih dari satu orang, mengingat tingkat penularan Omicron lebih cepat dari varian Delta.
“Data terakhir menunjukkan bahwa potensi penularannya itu luar biasa jauh lebih cepat dari Delta dalam artian (varian ini) 70 kali kemampuan replikasi di salurannya napasnya itu lebih cepat daripada delta, sehingga potensi dia memiliki kemampuan menginfeksi lebih cepat itu lebih besar,” jelasnya.
Ia pun menyarankan kepada pemerintah jika perlu, para petugas dan masyarakat yang satu gedung dengan pasien Omicron harus menjalani karantina untuk beberapa hari ke depan, sampai semuanya dianggap aman. Menurutnya, percepatan isolasi/karantina cukup efektif untuk mencegah terjadinya penularan di level komunitas.
“Kabar baiknya, bahwa masyarakat kita sekarang lebih banyak yang memiliki imunitas entah karena sudah divaksinasi maupun sudah terinfeksi. Tapi itu bukan berarti aman, tapi memberi kita lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri, faskes disiapkan, booster disegerakan. Dan sekarang lacak, setidaknya satu minggu terakhir yang keluar dari fasilitas karantina ini kemana saja, cari tahu, dan kalau bisa dilakukan karantina tambahan di rumah masing-masing itu lebih bagus, setidaknya seminggu tambahan,” jelasnya.
Dicky kemudian menjelaskan jika hasil whole genome sequencing (WGS) dari kelima kasus probable Omicron, yang ditemukan oleh pemerintah melalui tes PCR dengan spesifikasi khusus bernama SGTF atau S-gene target failure, adalah varian Omicron, maka sebenarnya pemerintah bisa melakukan metode tersebut untuk menemukan varian Omicron meskipun belum dilakukan WGS. Pasalnya, masih banyak daerah yang memiliki keterbatasan untuk melakukan tes WGS.
Menurutnya, tes PCR dengan spesifikasi SGTF tersebut merupakan proxy method yang sudah disarankan oleh WHO sejak munculnya varian Omicron. Negara-negara yang memiliki keterbatasan dalam melakukan WGS biasanya melacak kasus Omicron dengan menggunakan tes PCR dengan spesifikasi SGTF.
“Kalau nanti dari lima (kasus probable) ini semuanya Omicron, berarti ya sudah kita pakai PCR dengan SGTF, sehingga kita bisa cepat mendeteksinya, dan meresponnya (dengan) segera membuat orang itu di karantina, membuat orang itu bisa langsung di-tracing kontak erat. Itu yang mempersingkat waktu tunggu. Dan lebih efektif, karena kecepatan dalam melakukan karantina itu menjadi lebih penting pada kasus Omicron ini yang cepat menular,” pungkasnya. [gi/rs]