Sementara Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati hari ini, Kamis 3 Mei, para jurnalis di berbagai penjuru dunia menghadapi penangkapan, intimidasi, atau bahkan kematian karena melaksanakan tugas mereka.
Dan sementara daftar negara-negara yang paling banyak melakukan penyensoran di dunia kurang lebih sama, sikap permusuhan baru terhadap media muncul dari negara-negara yang sebelumnya ramah terhadap pers. Berbagai organisasi HAM menyatakan kebebasan pers, bukannya membaik, malah semakin terancam.
Sewaktu wartawan bergegas ke lokasi untuk meliput ledakan di Kabul pekan ini, seorang anggota ISIS pelaku serangan bom bunuh diri yang menyamar sebagai awak media beraksi. Ledakan kedua ini menewaskan sembilan jurnalis.
Ini jelas-jelas merupakan peringatan mengenai ancaman yang dihadapi wartawan di zona-zona konflik. Negara-negara yang dilanda perang masih merupakan tempat paling berbahaya bagi media. Tetapi perang bukan satu-satunya ancaman bagi kebebasan pers sekarang ini.
Menurut indeks kebebasan pers tahunan yang dipublikasikan oleh Wartawan Tanpa Tapal Batas (RSF), sikap permusuhan terhadap media semakin berkembang, dan ini terjadi bukan hanya di tempat-tempat yang dipimpin oleh pemerintahan otoriter.
Amerika Serikat, misalnya, turun ke posisi ke-45 dalam indeks tersebut. RSF menyebut Presiden Donald Trump sebagai “orang yang gemar mencerca media,” yang telah menyebut reporter sebagai “musuh masyarakat.” RSF menyatakan penangkapan dan kekerasan terhadap wartawan di Amerika meningkat pada tahun lalu.
Margaux Ewen dari RSF melalui Skype menjelaskan, “Kami benar-benar melihat ada korelasi antara kekerasan lisan ini terhadap wartawan dari presiden dan kekerasan fisik di sini. Tetapi apa yang juga kami lihat adalah dampaknya di seluruh dunia akibat pernyataan-pernyataan yang bertentangan dengan kebebasan pers ini.”
Para pejabat Gedung Putih menyatakan pemerintahan Trump adalah salah satu yang paling mudah diakses dalam beberapa dasawarsa ini. Juru bicara Gedung Putih Sarah Huckabee Sanders menyebut konyol sekali apabila menyatakan yang sebaliknya.
Tahun lalu, jumlah wartawan yang dipenjarakan terkait tugas mereka mencapai rekor tertinggi. Turki, China dan Mesir adalah pelaku pelanggaran terburuk, sebut Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ).
Di Eropa, kawasan yang dianggap paling menghormati kebebasan pers, dua wartawan ditembak mati dalam satu tahun terakhir ini saja, berkenaan dengan tugas yang mereka lakukan.
Di India, sebut RSF, sekelompok provokator di media sosial yang diduga direkrut oleh Perdana Menteri Narendra Modi menyerang wartawan yang kritis terhadap pemerintah. Seorang wartawati, Gauri Lankesh, dibunuh karena mengkritisi ekstremisme kelompok Hindu sayap kanan.
Di negara tetangganya, Pakistan, para wartawan dan aktivis merasa khawatir akan penangkapan dan penghilangan paksa. RSF menyatakan media di sana kerap dilarang meliput isu-isu tertentu oleh penguasa militer.
Para wartawan menyatakan tanpa hak untuk mempertanyakan orang-orang yang berkuasa, semua hak lainnya akan terancam.
Aoun Sahi, koresponden harian LA Times di Pakistan mengemukakan, “Kebebasan pers merupakan pilar dasar demokrasi dan ini adalah pilar dasar masyarakat yang perlu berkembang, dan ingin berkembang.”
Menurut organisasi pemantau kebebasan dan demokrasi berbasis di Washington DC Freedom House, kebebasan pers global telah menurun ke titik terendah dalam 13 tahun. Hanya 13 persen populasi dunia yang menikmati pers yang benar-benar bebas. [uh/lt]