Mahkamah Agung menegakkan larangan berkunjung ke Amerika oleh Trump atas warga beberapa negara yang sebagian besar Muslim, mengabaikan tentangan bahwa larangan itu mendiskriminasi umat Islam atau melebihi kewenangannya.
"Sayangnya, sebagai sebuah bangsa, jalan kita masing panjang untuk mendapat perlindungan setara dan melaksanakan cita-cita Amerika," kata Awad dari organisasi nirlaba Dewan Hubungan Islam Amerika.
Keputusan 5 berbanding 4 pada hari Selasa adalah putusan substantif pertama MA mengenai kebijakan pemerintah Trump, dan presiden dengan cepat men-tweet reaksinya: "Wow!"
Hakim Agung John Roberts menulis pendapat mayoritas bersama empat rekan konservatifnya. Roberts menulis bahwa presiden memiliki kekuasaan besar untuk mengatur imigrasi. Ia juga menolak klaim para penentang adanya 'bias anti-Muslim.’
Namun ia berhati-hati untuk tidak mendukung pernyataan provokatif Trump mengenai imigrasi secara umum atau Muslim pada khususnya.
"Perjuangan berlanjut," kata Awad. "Mobilisasi massa, kesadaran politik dan pengorganisasian politik telah menjadi alat untuk menciptakan perubahan," kata Awad
Larangan berkunjung itu telah diberlakukan sepenuhnya sejak Desember, ketika para hakim MA menunda keputusan pengadilan yang lebih rendah yang memutuskan kebijakan tersebut di luar batas dan menghalangi pemberlakuan sebagian dari kebijakan itu.
Dalam perbedaan pendapat yang diringkasnya di MA, Hakim Sonia Sotomayor mengatakan, "Sejarah tidak akan bersimpati pada keputusan salah kaprah hari ini, memang seharusnya tidak."
Hakim Stephen Breyer, Ruth Bader Ginsburg, dan Elena Kagan juga tidak setuju.
Kebijakan ini berlaku bagi pengunjung dari lima negara dengan penduduk yang mayoritas Muslim - Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman. Larangan tersebut juga mempengaruhi dua negara non-Muslim, menghalangi wisatawan dari Korea Utara dan beberapa pejabat pemerintah Venezuela dan keluarga mereka. [my/ii]