Satu organisasi Muslim dan kantor HAM PBB menyuarakan kekecewaan atas keputusan Swiss baru-baru ini yang melarang pemakaian penutup wajah di tempat umum. Penutup itu mencakup cadar yang biasa dikenakan perempuan Muslim.
Dalam referendum hari Minggu (7/3), pemilih menyetujui inisiatif itu dengan selisih suara tipis, 51 dan 49. Referendum itu digagas Partai Rakyat Swiss yang konservatif secara sosial dan anti-imigrasi.
Dewan Pusat Muslim di Swiss menggambarkan keputusan itu sebagai "hari yang gelap" bagi Muslim. Ia mengatakan larangan semacam itu "membuka luka lama."
Juru bicara kantor HAM PBB Ravina Shamdasani, Selasa (9/3), mengatakan negara-negara dengan larangan seperti itu "secara aktif mendiskriminasi perempuan Muslim."
Berbicara di Jenewa, Shamdasani mengatakan, "Penggunaan undang-undang untuk mendikte apa yang harus dikenakan perempuan, bermasalah dari perspektif hak asasi manusia." Ia menambahkan, "Undang-undang yang melarang penutup wajah akan sangat membatasi kebebasan perempuan untuk menjalankan agama dan berdampak yang lebih luas pada hak asasi mereka."
Menjelang referendum itu, pemerintah mendesak pemilih agar menentang larangan itu, dan mengatakan bahwa itu akan merugikan pariwisata dari negara-negara Muslim. Pemerintah juga menyebut penutup wajah sepenuhnya sebagai "fenomena kecil."
Sekitar 400.000 Muslim tinggal di Swiss atau sekitar 5,5% dari populasi, menurut harian New York Times. Harian itu mengatakan larangan tersebut juga menarget masker ski yang dikenakan pengunjuk rasa. Penutup wajah untuk alasan kesehatan dikecualikan.
Legislator Swiss kini memiliki waktu dua tahun untuk mengubah keputusan tersebut menjadi undang-undang. [ka/lt]