Ombudsman Republik Indonesia (ORI) berulang kali mencoba bertemu Rektor UGM, Panut Mulyono. Ada delapan pihak yang diundang ORI dalam investigasi terkait kasus perkosaan di kampus itu. Tujuh telah datang, dan rektor hadir belakangan setelah ORI menyatakan akan memanggil paksa. Investigasi ini penting, karena sebagai ORI sebagai lembaga negara harus meneliti, mengapa kasus ini berlarut penyelesaiannya.
Panut pun akhirnya datang memenuhi panggilan itu, Selasa (08/01) siang. Ombudsman mengajukan tujuh pertanyaan awal, dan diskusi kemudian berkembang hingga lebih dari satu jam. Budhi Masthuri, Kepala ORI DIY kepada wartawan menjelaskan, Rektor UGM terbuka dan menjelaskan semua langkah yang telah mereka ambil. Ketika disingguh mengenai penanganan kasus yang berlarut hingga lebih dari 1,5 tahun, Budhi menyatakan tidak ada pembicaraan khusus tentang itu.
“Kita tidak secara spesifik menanyakan itu, tetapi kita melengkapi sekuel-sekuelnya. Dari situ kemudian bisa menjawab pertanyaan, mengapa penanganan kasus ini lama. Dan apakah lamanya ini karena memang ada penundaan atau tidak. Hasil analisa kita yang akan menjawabnya. Ombudsman fokus pada tahapan prosedur tindak lanjut dalam merespon kasus, bukan pada substansi kasusnya itu sendiri,” kata Budhi Masthuri.
Kasus ini memang berjalan sangat lama. Terjadi pada Juli 2017, penanganannya terus berada di luar pengetahuan publik. Balairung, media mahasiswa kampus setempat, menyusun laporan investigasi dan memuatnya secara online pada awal November 2018. Baru setelah itu, kasus ini menjadi perbincangan nasional. Terduga pelaku sendiri menjalani pemeriksaan polisi pada pertangahan Desember 2018.
Ombudsman sempat menyebut, setidaknya ada dua dugaan pelanggaran administratif yang dilakukan UGM. Pertama adalah penundaan penyelesaian kasus hingga memakan waktu begitu lama. ““Faktanya kasus ini sampai November 2018 belum selesai, belum tuntas. Dugaan awalnya, penundaan berlarut. Tetapi dugaan ini harus diuji dengan fakta-akta yang kita temukan. Nah, apakah terbukti atau tidak terjadi penundaan, itu yang akan kita laporkan,” kata Budhi.
Pelanggaran kedua adalah masuknya nama terduga pelaku dalam daftar wisudawan, yang dijadwalkan mengenakan toga pada November 2018 lalu. Keluarnya laporan Balairung dan demonstrasi mahasiswa memaksa UGM mencoret nama terduga pelaku dari daftar wisudawan.
Laporan hasil investigasi Ombudsman sendiri dalam proses penyusunan dan akan dirilis secepatnya.
Kepada wartawan, usia bertemu Ombudsman, Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan bahwa pertemuan kedua pihak berjalan baik. Pihak UGM memberikan penjelasan lebih detil mengenai langkah-langkah yang mereka ambil sejak Juli 2017 hingga November 2018. Diharapkan dengan penjelasan ini, ORI dapat memahami bahwa UGM telah menjalankan seluruh prosedur.
“Terkait proses hukum yang saat ini masih berlangsung di Polda DIY semua berjalan independen. Kami tidak mempengaruhi, nanti kasus hukum akan berjalan dan hasilnya kita tunggu saja,” ujar Panut.
Reaksi masyarakat yang mempertanyakan kesempatan terduga pelaku mengikuti wisuda, dijawab UGM dengan menunda proses itu. Menurut Panut, nama terduga sempat masuk dalam daftar karena proses di fakutas sudah berjalan. Tetapi verifikasi akhir proses wisuda dilakukan Direktorat Pendidikan dan Pengajaran. Direktorat ini yang akhirnya memutuskan untuk menunda wisuda yang bersangkutan pada November lalu. Menjawab pertanyaan apakah terduga masih berkesempatan menerima gelar sarjana setelah kasus ini, Panut menyatakan proses lanjutan masih berjalan.
“Komite etik telah selesai bekerja, dan telah menyampaikan hasinya kepada pimpinan universitas pada tanggal 31 Desember. Sekarang sedang kami pelajari. HS (terduga pelaku) minta diwisuda boleh, tetapi kami melihat persyaratannya terpenuhi atau tidak, karena sekarang HS masih menjalani mandatori konseling. Prinsipnya, apa yang harus dilakukan, dijalani secara tuntas sesuai rekomendasi yang diberikan,” kata Panut Mulyono.
Terduga pelaku dalam kasus ini telah diwajibkan mengikuti sesi konseling. Begitu pula dengan Agni yang harus mengikuti konseling rehabilitasi. UGM, kata Panut, ingin seluruh pihak diuntungkan dengan jalan keluar yang sudah diambil. Dia menegaskan, kampus berpihak pada penyintas, dan meyakini bahwa pihak yang salah harus mendapatkan sanksi sepadan. Menurut Panut, semua itu adalah bagian butir-butir rekomendasikan komite etik bentukan universitas.
Dalam kesempatan berbeda sebelumnya, pengacara terduga pelaku, Tommy Susanto kepada VOA mengatakan, bahwa kliennya sangat ingin mengakhiri masa belajarnya di UGM dengan menyandang gelar sarjana. “Dia cuma minta untuk diwisuda. Dia orang yang cerdas. Dia selesai masa akademiknya, tidak ada masalah dengan akademisnya. Sudah bayar wisudanya. Dia cuma minta diwisuda. Untuk menuntut soal nama baik dan sebagainya belum terpikir sama dia,” kata Tommy. [ns/ab]