Tahun 2023 seharusnya menjadi awal era baru bagi China, seiring Xi Jinping mengukuhkan masa jabatan ketiganya sebagai pemimpin negara tersebut. Ketika Xi mengonsolidasikan kendalinya atas negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, China menghadapi banyak tantangan, termasuk lonjakan kasus dan kematian akibat COVID-19 yang pesat, tingkat pengangguran kaum muda yang tinggi dalam sejarah, dan pemecatan dua pejabat tingkat tinggi secara tiba-tiba.
Beberapa analis menganggap 2023 sebagai tahun yang penuh gejolak bagi Beijing dan mengatakan bahwa banyak peristiwa yang terjadi merupakan bagian dari dampak kebijakan Nol-COVID China yang berlangsung selama hampir tiga tahun.
“Banyak hal yang terjadi terkait dengan strategi nol-COVID,” kata Dali Yang, pakar politik China di Universitas Chicago, mengatakan kepada VOA melalui telepon. “Nol-COVID sudah berlalu, namun dampak ekonomi dari semua kebijakan tersebut masih tetap ada.”
Keputusan pihak berwenang China untuk secara tiba-tiba mengakhiri kebijakan Nol-COVID pada akhir tahun 2022, menyebabkan lonjakan kasus dan kematian COVID-19 secara tiba-tiba di seluruh China pada awal 2023. Gambar-gambar di media sosial menunjukkan warga China mengantri berjam-jam di luar rumah sakit.
Belakangan, video media sosial, gambar satelit, dan rekaman yang diambil oleh media asing di lapangan menunjukkan bagaimana rumah duka kewalahan karena lonjakan kematian yang tiba-tiba. Biro Statistik Nasional China tidak merilis jumlah total kematian pada Desember.
“Lonjakan tajam jumlah kasus dan kematian yang terkonfirmasi, terutama di kalangan lansia, menyadarkan saya bahwa pemerintah China tidak terlalu peduli dengan dampak keputusan yang diambil terhadap masyarakat China,” Sherry Liang, guru bahasa Inggris berusia 35 tahun di China Tengah, kepada VOA melalui telepon.
Tingkat pengangguran kaum muda
Terlepas dari lonjakan kasus dan kematian akibat COVID pada Januari, China juga mengalami peningkatan tingkat pengangguran kaum muda ke tingkat tertinggi dalam sejarah di tengah perlambatan ekonomi yang terus berlanjut. Selama berbulan-bulan, tingkat pengangguran kaum muda di China berada di atas 20 persen, yang memperburuk rasa putus asa di antara jutaan lulusan perguruan tinggi.
Alih-alih mengirim foto sukacita pelemparan topi pada upacara wisuda, banyak anak muda di China berbagi foto diri mereka yang tergeletak di tanah, tertelungkup di tangga, atau membuang ijazah sarjana ke tempat sampah.
Pasar kerja yang suram telah memaksa beberapa generasi muda untuk kembali ke kampung halaman mereka dan menjadi “anak-anak penuh waktu” sementara yang lain berjuang untuk mempertahankan gaya hidup normal karena masalah mental yang serius.
“Saya didiagnosis menderita depresi sejak kehilangan pekerjaan pada Juni,” kata Jacky Wang, lulusan perguruan tinggi berusia 22 tahun di Shanghai, mengatakan kepada VOA melalui telepon.
“Saya takut mencari pekerjaan. Setiap kali saya membuka situs pencarian kerja, saya akan sangat gugup dan bahkan mengalami sakit kepala yang parah. Setiap kali saya membaca tentang angka pengangguran kaum muda terbaru, saya bertanya-tanya apakah hidup saya akan seperti ini selama saya tinggal di China,” tambahnya.
Pada Agustus, China mengumumkan bahwa mereka tidak lagi merilis data pengangguran kaum muda, dengan alasan adanya kebutuhan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan cara pengumpulan data.
Gejolak politik, ketidakpuasan publik
Selagi berjuang untuk mengatasi tantangan-tantangan yang muncul setelah berakhirnya kebijakan Nol-COVID, pemerintah China juga menghadapi beberapa momen politik yang sulit dan meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap gaya kepemimpinan Xi Jinping yang keras kepala.
Sejak Juli, dua pejabat tingkat tinggi, mantan menteri luar negeri Qin Gang dan mantan menteri pertahanan Li Shangfu, menghilang dari pandangan publik dan kemudian dicopot dari jabatannya. Secara luas dipandang sebagai loyalis Xi, beberapa pengamat mengatakan pemecatan mereka secara tiba-tiba mencerminkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam politik satu orang Xi.
Ketika Xi menjadi lebih tegas dalam memerintah China, memperketat kontrol atas masyarakat sipil dan menindak bisnis seperti Alibaba, beberapa orang China telah menggunakan peristiwa seperti kematian mantan perdana menteri Li Keqiang pada akhir Oktober untuk melawan pemerintahan tunggal Xi, kata Alfred Wu, pakar politik China di Universitas Nasional Singapura.
“Dengan berduka atas Li, masyarakat China ingin menunjukkan bahwa mereka merindukan era yang lebih manusiawi di China dan dengan cara tertentu, mereka bereaksi terhadap perubahan struktural dramatis yang terjadi di China di bawah kepemimpinan Xi,” katanya kepada VOA melalui telepon.
Setelah media pemerintah China mengumumkan kematian Li pada 27 Oktober, gambar dan video di media sosial menunjukkan ratusan warga China berbaris di luar rumah masa kecilnya di Provinsi Anhui untuk memberikan penghormatan kepada mantan perdana menteri tersebut.
Di platform sosial media China, Weibo, beberapa netizen menyebut Li sebagai “perdana menteri yang baik yang mengabdikan dirinya kepada rakyat,” sementara yang lain mengatakan mereka selalu “mencintai dan menghormati” Li. Namun protokol sensor online China segera memblokir kata-kata pencarian yang relevan.
Pada perayaan Halloween tahun ini, beberapa peserta mengenakan kostum seperti baju hazmat, yang dikenakan oleh pihak berwenang yang menegakkan aturan COVID-19 selama pandemi, sementara yang lain menempelkan lembaran kertas kosong pada pakaian mereka untuk melambangkan protes nasional terhadap strategi nol-COVID pada 2022.
Dengan aktivitas manufaktur China yang mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut pada November dan perekonomian negara tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang jelas, Wu di Singapura memperkirakan situasi China secara keseluruhan tidak akan membaik dalam waktu dekat.
Ia mengatakan kepada VOA bahwa meskipun sebagian besar keadaan di China kemungkinan besar akan tetap sama pada tahun depan, “kondisi dasar, terutama kondisi perekonomian, akan lebih buruk dibandingkan 2023.”
Meskipun prospek China pada 2024 terdengar pesimistis, beberapa warga China berpendapat bahwa dibandingkan dengan warga Ukraina, yang telah menderita akibat perang yang dilancarkan oleh Rusia selama lebih dari setahun, situasi mereka tampaknya relatif lebih baik.
“Meskipun pemerintahan otoriter pemerintah China menakutkan, perang di Ukraina bahkan lebih mematikan,” jelas Allen Wang, pria China berusia 37 tahun di provinsi Jiangsu, mengatakan kepada VOA melalui telepon. [es/ft]