Pemerintah sudah mengumumkan ditemukannya kasus virus corona positif. Sebagian masyarakat panik mendengar kabar itu. Masker dan cairan cuci tangan menjadi barang paling banyak diburu. Banyak media juga mengabarkan ada sekelompok warga yang berbelanja kebutuhan sehari-hari dalam jumlah besar.
Padahal, sejumlah pakar menegaskan tidak ada alasan untuk menjadi panik. Menurut ahli mikrobiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Titik Nuryastuti, virus corona tidak jauh berbeda dengan SARS yang menyebar pada tahun 2002.
“Virus corona 2019 masih paling sedikit angka mortality-nya. Sampai sekarang sekitar 2,8 persen. Tetapi yang mengkhawatirkan adalah penyebarannya, transmisinya memang luar biasa cepat. Jadi kalau kita lihat angka kematiannya yang rendah ini, tentunya kita tidak perlu panik ya. Tidak perlu menimbulkan kepanikan,” kata Titik.
Titik memaparkan data itu di depan puluhan tenaga kesehatan dalam kuliah tamu mengenai virus corona di Fakultas Farmasi UGM, Rabu (4/3). Kehadiran para tenaga kesehatan dari Puskesmas berbagai wilayah, diharapkan mampu memperbaiki pemahaman mengenai virus corona.
Persentase Kematian Rendah
Kepada peserta kuliah tamu, Titik memaparkan perbandingan serangan SARS CoV, MERS CoV dan virus corona. SARS menyerang pada 2002 dengan 8.096 kasus terkonfirmasi dan 744 korban meninggal atau 9,19 persen. MERS pada 2012 mencatatkan 2.494 kasus terkonfirmasi dengan 858 korban meninggal atau 34,4 persen. Sedangkan virus corona hingga 20 Februari 2020 pagi, sesuai data yang ada, 75.725 kasus terkonfirmasi dengan 2.126 korban meninggal atau 2,8 persen.
Data Kementerian Kesehatan pada 2 Maret mencatat, total kasus konfirmasi virus corona di tingkat global adalah 88.948 kasus. Dari jumlah itu, 80.174 kasus di antaranya dilaporkan dari China. Total kematiannya adalah 3.043 kasus atau 3,4 persen, dengan 2.915 di antaranya dilaporkan dari China. Virus corona juga telah menyebar ke 64 negara.
Jika melihat tren angka tersebut, virus corona memang menyebar secara luar biasa luas dan cepat, tetapi angka kematiannya kecil.
Titik juga menyebut, virus corona tidak cukup memiliki daya tahan.
“Kalau melihat strukturnya, yang hampir mirip dengan SARS CoV, ditengarai bahwa virus corona tidak tahan terhadap suhu tinggi dan tidak tahan terhadap kelembaban tinggi. Di permukaan kering dengan suhu 22 sampai 25 derajat Celcius, dia bisa tahan sekitar lima hari. Tetapi ketika suhunya meningkat, kemampuannya bertahan turun drastis,” kata Titik.
Titik juga menjelaskan, virus ini mudah dibunuh dengan pembasmi kuman yang biasa dipakai masyarakat saat ini. Penting dilakukan adalah menjaga kebersihan, baik diri maupun lingkungan. Masyarakat juga tidak perlu panik jika ada kasus ditemukan di satu lokasi, karena virus menular melalui cipratan ludah. Jarak terjauh yang bisa dicapai adalah 1,8 meter, sehingga mereka yang berada setidaknya dua meter dari korban, bisa dikatakan relatif aman.
Usia dan Penyakit Penyerta
Diwawancarai terpisah, Koordinator Tim Respon COVID-19 UGM, Riris Andono Ahmad kepada VOA mengatakan, virus corona menyerang manusia sebagaimana cacar, flu, demam berdarah, atau demam.
Riris menggarisbawahi bahwa manusia juga bisa diserang jenis flu parah. Sebelumnya, Indonesia juga mengalami sejumlah kasus kematian akibat flu burung. Agar bisa objektif, menurut Riris harus dibaca lebih detail data korban terkait usia dan penyakit penyertanya.
“Terkait dengan virus corona, yang kita tahu kan angka keparahannya kecil, itupun di usia tua dan ada komorbilitas atau penyakit penyerta yang lain, dan karena itu menjadi parah,” kata Riris.
Riris juga menegaskan, masker sama sekali tidak dibutuhkan oleh mereka yang sehat. Masker berfungsi mencegah terlontarnya cairan, dan karena itu dipakai oleh mereka yang sakit. Karena itu tidak perlu melakukan pembelian masker dalam jumlah besar. Perilaku yang dianjurkan adalah mencuci tangan lebih sering dengan sabun antiseptik atau cairan pembersih berbasis alkohol.
Flu, kata Riris, sebenarnya lebih banyak terjadi di negara dengan empat musim. Mengutip data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Amerika Serikat, dia mengatakan negara itu sedang mengalami musim flu. Ada puluhan juta warga terserang flu, dan sekitar 250.000 orang harus masuk rumah sakit. Setidaknya telah ada 16 ribu korban meninggal, dan menurut data flu membunuh 25 ribu sampai 69 ribu orang setiap tahunnya di Amerika.
“Artinya memang secara natural kejadian flu itu, lebih umum terjadi di negara empat musim dan biasanya menyerang pada waktu musim dingin. Sama seperti SARS dulu, itu juga musim dingin. Begitu musim semi dan musim panas, dia menjadi menghilang. Apakah virus corona akan berperilaku seperti itu? Ya, harus kita tunggu,” kata Riris.
Diuntungkan Secara Gen
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Paru di RSUP dr Sardjito Yogyakarta, Sumardi kepada VOA mengatakan, ada faktor genetik yang relatif menguntungkan masyarakat Indonesia. Virus corona yang masuk ke tubuh orang Indonesia, kata Sumardi, relatif tidak berdampak parah. Serangan itu akan mengakibatkan flu, tetapi relatif lebih mudah diatasi.
Virus, lanjut Sumardi, selalu mencari tempat yang cocok bagi dirinya untuk hidup, yang dikenal sebagai inang. Jika menemukan inang yang tepat, virus akan berkembang biak dan merusak.
“Tapi saluran nafasnya orang Indonesia, secara genetik reseptor tempat nemplok-nya virus itu tidak cocok. Jadi virus itu hanya berkembang di saluran nafas, terdeteksi positif, kemudian mekanisme sistem saluran nafas, ada barang baru lalu bereaksi. Keluar lendir, batuk, pilek begitu saja. Tetapi dia tidak bisa hidup. Dalam waktu beberapa hari, nanti hilang sendiri,” ujar Sumardi.
Sumardi menyandarkan pernyataannya pada data SARS tahun 2003. Ketika itu, China menjadi negara dengan korban terbanyak. Singapura adalah tetangga Indonesia dengan korban cukup besar, bahkan memberlakukan penutupan kawasan. Di Indonesia tidak tercatat satupun korban meninggal, meskipun ada begitu banyak warga Batam dan sekitarnya yang lalu lalang ke Singapura setiap hari untuk bekerja.
Kaitan virus dengan faktor genetik ini juga disinggung oleh I Nyoman Kandun, Direktur Field Epidemiologi Traning Program Indonesia. Mantan pejabat Kementerian Kesehatan ini turut menangani kasus SARS dan flu burung di Indonesia.
Nyoman mengatakan, serangan virus flu burung tercatat memiliki semacam pola yang terkait dengan garis keturunan seseorang. Dia memberi contoh kasus di Medan, di mana seorang suami menjadi korban, sedangkan istrinya, yang setiap hari bersama, tidak tertular sama sekali.
“Klasternya, kalau tidak Sitohang, ya dekat-dekat dengan Sembiring, itu kena. Tetapi, misalnya Pasaribu, itu istrinya walupun dia berkumpul setiap hari, dia tidak kena. Makanya dikatakan ada hubungan genetik terhadap suseptibilitas, terhadap H5N1. Apakah ini nanti corona ini nanti akan begitu, nanti epidemiolog yang akan melakukan penelitian,” ujar Nyoman di Yogyakarta dalam sebuah diskusi akhir pekan lalu. [ns/uh]