Tanggal 24 Februari 2023, menandai setahun berlangsungnya invasi Rusia di Ukraina. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda perang antara kedua negara akan berakhir meski berbagai sanksi ekonomi dan tekanan politiik dilancarkan terhadap Rusia.
Sehari menjelang setahun Perang Ukraina, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan sebuah resolusi yang menuntut Rusia menarik semua pasukannya dari Ukraina. Sebanyak 141 negara, termasuk Indonesia mendukung resolusi tersebut, tujuh menolak, dan 32 negara lainnya menyatakan abstain.
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan dukungan Indonesia itu diberikan karena pokok dan semangat resolusi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam piagam PBB dan hukum internasional termasuk resolusi konflik secara damai, penghormatan terhadap HAM dan penegakan hukum.
Menurut Kemenlu, langkah Indonesia itu merupakan bagian dari upaya untuk terus mendorong agar kedua pihak yang berkonflik kembali ke meja perundingan.
Dalam diskusi mengenai setahun Perang Ukraina yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Jumat (24/2), pengajar hubungan internasional di Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra, menjelaskan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak akan menarik pasukannya dari Ukraina. Karena, menurutnya, kalau sampai hal itu dilakukan, maka pamor Putin jatuh dan dia akan dianggap sebagai pihak yang kalah. Apalagi Rusia tahun depan akan menggelar pemilihan umum.
Radityo mengharapkan pemerintah Indonesia memainkan peran lebih besar. Ia berpendapat mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang menuntut Rusia menarik pasukannya dari Ukraina bukanlah tindakan yang memadai.
Radityo mengatakan, Indonesia yang mengklaim sebagai salah satu negara kekuatan menengah dan penting sebetulnya bisa menggalang kekuatan dengan negara-negara sekelas lainnya, seperti Brasil, Meksiko, dan Turki, untuk mengirim delegasi bersama ke Rusia, untuk menekan Putin agar mundur dari Ukraina sebelum kedua negara yang bertikai itu berunding.
"Karena selama ini belum pernah dilakukan. Indonesia tidak pernah mengirim delegasi, secara publik tidak pernah delegasi mediator seperti dulu pernah disebut-sebut di awal ketika Presiden Jokowi mau berangkat (ke Ukraina). Indonesia mau jadi mediator tapi tiak pernah kirim delegasi atau tunjuk utusan khusus untuk jadi mediator," kata Radityo.
Indonesia, kata Radityo, juga bisa mendorong China untuk meminta Putin menghentikan invasinya ke Ukraina.
Menurutnya, pemerintah Indonesia gagal membaca konteks sejarah dalam perang Ukraina. Ia mengatakan, tidak banyak pengambil kebijakan yang memiliki pemahaman memadai mengenai kawasan itu. Kebanyakan dari mereka memahami kawasan tersebut dari cara pandang Rusia.
Jika pemerintah Indonesia tidak proaktif, kata Radityo, perang di Ukraina akan terus berlangsung dan akan ikut berdampak buruknya terhadap Indonesia. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara anggota G20 atau ketua ASEAN, menurutnya, juga akan dipandang banyak pihak tidak ada harganya.
Radityo menjelaskan, perang Ukraina yang berkepanjangan bukan karena Rusia merasa terancam dengan rencana kehadiran NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) di Ukraina dan juga bukan hanya karena Putin yang sedang berkuasa. Rusia, menurutnya, merasa a negara-negara pecahan Uni Soviet -- termasuk Ukraina -- harus terus berada di bawah pengaruh mereka.
Menurut Radityo, perang di Ukraina juga dijadikan alat oleh Putin untuk mengalihkan isu di dalam negeri. Putin tidak ingin rakyat Rusia terpengaruh oleh tuntutan demokrasi yang makin menggema, yang disuarakan pihak oposisi.
Radityo meyakini Putin tidak akan menarik pasukannya. Perang hanya akan berhenti jika Ukraina memukul mundur pasukan Rusia.
Pendiri sekaligus ketua FPCI Dino Patti Djalal meyakini Rusia tidak akan dapat menaklukkan Ukraina secara militer. "Sejarah sudah mengajarkan kita, betapapun kuatnya militer suatu negara, tapi kalau diajdikan alat kezaliman dan untuk menduduki orang yang mencintai kemerdekaannya, kedaulatannya, maka ini tidak akan berhasil," kata Dino.
Sejak Perang Dunia Kedua berakhir, lanjutnya, dunia sudah memiliki tatanan global dengan berdirinya PBB. Berdasarkan Piagam PBB kedaulatan suatu negara adalah sesuatu yang sacral. Intinya, tidak ada satu pun negara pun yang memiliki hak menginvasi negara lain yang berdaulat.
Dino menekankan kalau tatanan global yang ada sekarang hilang, maka dunia akan berubah. Indonesia berkepentingan menjaga tatanan dunia saat ini di mana kedaulatan sebuah negara itu sakral dan tidak dapat diganggu gugat, katanya.
Pada diskusi tersebut, Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin mengatakan rakyat Ukraina berhasil meraih kemajuan sangat penting dalam perang menghadapi Rusia. Dia menambahkan rakyat Uraina telah belajar dengan tepat bagaimana cara untuk bersatu.
"Mereka telah mengambil pelajaran bahwa hanya dengan bersatu, mereka dapat menghadapi musuh yang kuatt," ujar Hamianin.
Menurutnya ada banyak pahlawan-pahlawan kecil dalam Perang Ukraina. Orang-orang yang dimaksud adalah mereka yang melakukan kegiatan kemanusiaan, seperti membantu para orang tua, para penyandang disabilitas, dan anak-anak.
Hamianin juga menegaskan pelajaran paling penting yang diambil oleh rakyat Ukraina sejak invasi Rusia pada 24 Februari tahun lalu adalah jangan pernah berunding dengan pihak agresor karena mereka tidak pernah siap untuk bernegosiasi. [fw/ab]
Forum