Ketua Gugus Kuratif COVID-19 Jawa Timur, dokter Joni Wahyuhadi, mengingatkan masyarakat agar tidak menganggap remeh penularan virus corona, salah satunya melalui jenazah. Hal ini terkait beberapa kasus yang ditemukan, di mana masyarakat memaksa memakamkan sendiri anggota keluarga yang meninggal sebagai PDP (pasien dalam pengawasan) maupun terkonfirmasi positif corona, tanpa prosedur pemakaman COVID-19.
Joni menekankan, penularan virus corona dari jenazah kepada orang yang hidup dapat terjadi karena mengabaikan keamanan pemakaman jenazah sesuai protokol COVID-19. Ia menjelaskan, cairan yang keluar dari tubuh pengidap corona merupakan sarana penularan virus, sehingga petugas pemulasaran dan pemakaman jenazah harus memastikan keamanannya supaya tidak tertular.
“Menghindari jangan sampai tertular melalui cairan tubuh jenazah. Makanya dia harus betul-betul aseptik (bebas dari mikroorganisme penyebab penyakit) dan tidak boleh disentuh. Petugas yang melakukan kremasi atau melakukan pemulasaran harus memakai APD (alat pelindung diri) lengkap," ujarnya.
Joni Wahyuhadi menambahkan, "Tidak boleh bocor APD-nya. Kemudian, dilakukan disinfeksi yang cukup, dengan plastik, kemudian disemprot disinfektan dan dibungkus plastik lagi, kemudian dimasukkan peti, petinya pun harus disemprot disinfeksi, tidak boleh dibuka. Kalau masalah dikafani, kalau saya lihat di beberapa metode, plastik ada kafannya, tapi harus ada plastiknya, karena apa, plastiknya itu untuk mencegah jangan ada tembus cairan.”
Menurut Joni, virus corona saat ini telah ditemukan di berbagai tempat pada tubuh manusia yang terinfeksi. Sebisa mungkin, kata Joni, orang yang sehat tidak sampai kontak dengan cairan yang keluar dari tubuh pengidap corona, termasuk saat sudah meninggal.
“Pasien yang meninggal karena COVID, jurnal terakhir kami baca hari ini, ditemukan di berbagai tempat di tubuh kita. Ada di pembuluh darah, ada di prostat, bahkan ada di saluran cerna, di feses, di air liur sudah jutaan atau milyaran. Jadi, cairan tubuh yang keluar dari manapun masih terdapat corona virusnya. Mereka menempel pada mantan organ kita, di saliva (cairan oral), di feses, cairan-cairan telinga itu dia nempel di situ, sampai nanti habis cairannya itu mengering, sudah tidak ada lagi yang “dimakan” dalam tanda petik sama corona virus, baru dia ikut mati,” papar Joni.
Dokter Zenia Angelina dari Fakultas Kedokteran, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, menyebut penularan virus corona termasuk yang paling mudah dibandingkan virus lainnya. Meskipun tingkat kematian pada seseorang dipengaruhi oleh imunitas dan adanya penyakit bawaan atau tidak, mudahnya penularan virus dapat mempengaruhi kecepatan penanganan serta kemungkinan hidup penderita. Cara hidup bersih dan sehat harus menjadi kedisiplinan masyarakat, bila tidak ingin tertular virus corona yang dapat menimbulkan kematian.
“Untuk menentukan bagaimana angka mortalitas ke depannya, itu tidak bisa hanya ditentukan dari virusnya ganas atau tidak. Virus ini sepertinya sifatnya memang sangat mudah ditularkan. Kalau semakin banyak yang tertular, semakin banyak yang sakit, itu akan tentu menjadi beban bagi tenaga kesehatan, bagi pelayanan kesehatan, itu pasti akan kelimpungan kalau yang sakit terlalu banyak. Nah, itu akhirnya yang bisa menimbulkan angka mortalitasnya pun akan lebih tinggi,” ujar Zenia Angelina.
Ketua Rumpun Tracking Gugus Tugas Jawa Timur, dokter Kohar Hari Santoso, mengingatkan ancaman penularan dan perebakan virus corona yang sangat mudah antar manusia. Dibukanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya, Sidoarjo dan Gresik, kata Kohar, jangan sampai membuat masyarakat lupa untuk tetap menjaga diri dari penularan virus corona.
“Jangan ada euforia, tapi justru kita memasuki budaya baru, dengan maskernya, dengan cuci tangannya, dengan jaga jaraknya, dan juga jaga imunitas supaya kalau pun ketularan itu jangan sampai menjadi sakit, kalau pun sakit jangan sampai menjadi berat atau sampai meninggal,” tandas Kohar. [pr/ka]