Sekelompok pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari Senin (17/1) menuduh pemerintahan Taliban terus berusaha menghapus peran perempuan dan anak perempuan dari kehidupan masyarakat.
Para pemimpin Taliban “melembagakan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berskala besar dan sistematis” terhadap perempuan, kata para ahli dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM.
Para ahli menegaskan kembali kekhawatiran mereka pada serangkaian tindakan pembatasan, terutama yang menyangkut perempuan dan anak perempuan, yang telah diterapkan Taliban sejak merebut kekuasaan Agustus lalu. “Secara keseluruhan, kebijakan ini merupakan hukuman kolektif terhadap perempuan dan anak perempuan, yang didasarkan pada bias berbasis gender dan praktik berbahaya,” kata mereka.
Taliban telah melarang sebagian besar perempuan kembali bekerja, memerintahkan sopir taksi untuk hanya memberikan tumpangan kepada perempuan yang mengenakan jilbab, mengharuskan kerabat pria untuk menemani perempuan yang bepergian lebih jauh dari 72 kilometer, dan memberlakukan aturan berpakaian yang ketat pada perempuan dan anak perempuan.
“Selain sangat membatasi kebebasan bergerak, berekspresi dan berserikat, demikian juga partisipasi mereka dalam urusan kemasyarakatan dan politik, kebijakan-kebijakan ini juga telah mempengaruhi kemampuan perempuan untuk bekerja dan mencari nafkah, mendorong mereka lebih jauh ke dalam jurang kemiskinan,” kata para ahli.
Sebagian besar sekolah menengah perempuan di Afghanistan masih ditutup.
Para pemimpin Taliban mengatakan mereka berharap dapat mengizinkan semua anak perempuan kembali ke sekolah setelah tahun baru Afghanistan, yang dimulai pada awal Maret. Mereka mengatakan tantangan seperti membayar gaji guru dan memastikan lingkungan yang aman bagi siswi sesuai ajaran Islam menyebabkan penundaan yang terjadi.
“Kami menghormati hak-hak perempuan tetapi mengharuskan mereka unjuk berjilbab,” kata Suhail Shaheen, wakil tetap Taliban yang ditunjuk untuk PBB, kepada VOA.
Pengkritik terus mempertanyakan integritas janji Taliban terkait anak perempuan dan sekolah.
“Kami juga sangat terganggu oleh perilaku kasar yang ditunjukkan otoritas de facto kepada perempuan dan anak perempuan Afghanistan yang mengklaim hak-hak dasar mereka, dengan berbagai laporan di mana pengunjuk rasa damai seringkali dipukuli, dianiaya, diancam, dan – pada kasus yang sudah dikonformasi – ditahan secara sewenang-wenang,” kata para ahli.
Perempuan telah secara rutin berunjuk rasa di jalanan kota Kabul dan kota lainnya untuk memprotes pencabutan hak-hak mereka oleh Taliban. Pasukan Taliban terkadang menggunakan kekerasan untuk membubarkan aksi-aksi tersebut dan melarang demonstrasi tanpa izin.
Pada hari Minggu (16/1), polisi Taliban menembakkan semprotan merica ke sekelompok perempuan berjumlah 20 orang yang berunjuk rasa di ibu kota Afghanistan, mengutuk pembatasan hak-hak mereka, termasuk kewajiban berjilbab, aku peserta aksi tersebut. Selama unjuk rasa, para demonstran membakar burqa atau kerudung yang telah diamanatkan kementerian bimbingan Islam Taliban kepada perempuan.
Kementerian Penegakkan Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan menanggapinya dengan memberi peringatan bahwa Al-Quran telah memerintahkan perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab.
“Menentang jilbab sebenarnya bertentangan dengan perintah Al-Quran dan ajaran rasul. Kami meminta saudari-saudari Muslim kami untuk tidak terpengaruh pihak asing dan tidak mendorong penentangan terhadap jilbab,” kata kementerian dalam sebuah cuitan, merujuk pada Nabi Muhammad.
Para pengkritik, termasuk Heather Barr dari Human Rights Watch, mempertanyakan pernyataan Taliban.
“Obsesi terhadap cara berpakaian perempuan seringkali tidak terlalu menjadi perhatian mereka, tetapi ini menunjukkan keinginan Taliban untuk mendikte dan membatasi setiap aspek kehidupan perempuan,” kata Barr kepada VOA.
“Taliban tampaknya percaya bahwa mereka adalah satu-satunya orang di planet ini yang mengerti dan menghormati Islam seutuhnya,” ungkapnya.
Penindasan kelompok fundamentalis tersebut terhadap perempuan pada masa kekuasaan mereka sebelumnya di Afghanistan pada tahun 1990-an merupakan salah satu alasan utama komunitas global menolak mengakui pemerintahan baru di Kabul dan memblokir aksesnya ke cadangan dana asing milik Afghanistan, yang sebagian besar disimpan di AS.
Pembatasan keuangan dan sanksi lanjutan terhadap para pemimpin Taliban telah menyebabkan keruntuhan ekonomi Afghanistan dan memperburuk krisis kemanusiaan di negara yang dilanda konflik itu.
Para pakar PBB meminta komunitas global untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan warga Afghanistan. Mereka menegaskan perlunya menekan otoritas Taliban untuk memastikan bahwa pembatasan hak-hak dasar perempuan dan anak perempuan segera dihapuskan. [rd/jm]