Di tengah upaya untuk terus menggenjot perekonomian nasional yang terdampak besar oleh pandemi COVID-19, Presiden Joko Widodo meminta jajarannya untuk mewaspadai gejolak perekonomian global, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional.
“Seperti perlambatan ekonomi di China, betul-betul dilihat karena ekspor kita ke sana gede. Kemudian risiko tapering off dari Amerika, betul-betul dilihat dampak dan apa yang harus kita siapkan, apa yang harus kita lakukan,” ungkap Jokowi dalam Sidang Kabinet, di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (17/11).
Inflasi global, kata Jokowi, juga harus diwaspadai agar kelak Indonesia siap untuk menangani permasalahan tersebut. Selain itu, ia mengingatkan adanya fenomena siklus commodity supercycle di mana harga-harga komoditas menjadi naik di atas batas harga biasanya. Kondisi tersebut tentu berpengaruh terhadap komoditas unggulan ekspor Indonesia.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Jokowi mengingatkan bahwa perlambatan ekonomi dunia berpotensi masih akan berlanjut pada tahun 2022, mengingat pandemi COVID-19 yang belum usai. Sementara Indonesia dan beberapa negara di Asia lainnya menunjukkan perkembangan yang baik terhadap situasi pandeminya, Eropa kini menjadi pusat penyebaran COVID-19 di mana beberapa negara di wilayah tersebut melaporkan lonjakan kasus dalam beberapa minggu terakhir.
“Oleh karena itu, APBN di tahun 2022 harus bisa menjadi instrumen utama untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi, memperkuat daya tahan ekonomi, mengakselerasi daya saing kita, utamanya daya saing di ekspor, dan daya saing di investasi,” jelasnya.
Selain penguatan secara internal, Jokowi juga memerintahkan para menterinya untuk terus mengawal komitmen investasi yang tengah berjalan saat ini agar komitmen tersebut dapat membuahkan hasil.
Kunjungan Jokowi ke Uni Emirat Arab baru-baru ini berhasil mengamankan komitmen investasi senilai $44,6 miliar. Komitmen investasi senilai $9,2 miliar juga berhasil pemerintah Indonesia dapatkan dari Inggris.
“Bolanya ada di kita, semuanya Menko Investasi, Menteri Investasi, Menteri BUMN , Menko Perekonomian yang terkait dengan ini semua betul-betul harus berkonsentrasi agar semuanya yang sudah menjadi komitmen itu agar betul-betul menetas dan bisa direalisasikan,” tuturnya.
Kenaikan Harga
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan ancaman perekonomian global sudah berada di depan mata. Pemerintah, katanya, tengah menyoroti dua isu utama yang harus diwaspadai. Kedua hal tersebut adalah kenaikan harga di tingkat produsen di beberapa negara seperti Eropa, China, Amerika Serikat dan bahkan di beberapa negara emerging market, seperti Meksiko dan juga Korea, dan tingkat inflasi yang melonjak tinggi.
“Inilah yang kemudian kita akan waspadai. Untuk Indonesia sendiri kita lihat harga di tingkat produsen juga mengalami kenaikan (sebesar) 7,3 persen, kalau di Eropa kenaikannya bahkan mencapai 16,3 persen, China 13,5 persen, dan di Amerika Serikat 8,6 persen, serta di Korea 7, 5 persen,” ungkap Sri dalam telekonferensi pers usai Sidang Kabinet pada Rabu (17/11).
Ia kemudian menjelaskan bahwa tingkat inflasi yang tinggi di Amerika Serikat membuat Bank Sentral AS, The Fed, melakukan berbagai penyesuaian kebijakan moneter. Ia mencontohkan adanya penghentian pembelian surat utang pemerintah Amerika Serikat atau tapering hingga kenaikan suku bunga acuan. Secara historis, kenaikan suku bunga acuan di AS ini berpotensi menimbulkan goncangan, seperti modal asing yang akan keluar (capital outflow) dari negara berkembang.
“Ini kemudian menimbulkan ekses di sisi nilai tukar dan bahkan bisa saja di berbagai negara berkembang atau negara emerging seperti yang kita lihat di Argentina dan Turki terjadi kenaikan inflasi dan depresiasi dari currency-nya yang sangat dalam. Ini bisa berpotensi menimbulkan ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan,” ujarnya.
Sri Mulyani menyatakan, untuk menghadapi berbagai gejolak perekonomian dunia ini maka fondasi perekonomian tanah air harus diperkuat. Meski begitu, ia optimis Indonesia dapat menghadapi tantangan yang muncul melihat performa ekonomi Indonesia sudah mulai menunjukkan perbaikan.
“Sampai dengan hari ini pemulihan ekonomi di kuartal IV diperkirakan akan meningkat cukup kuat terutama ditunjang dengan beberapa indikator seperti consumer confidence index yang meningkat, retail sales index meningkat, PMI juga meningkat atau recover sesudah mengalami penurunan akibat delta, ekspor dan impor kita juga menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi yaitu 50 persen,” pungkasnya.
Risiko Lebih Kompleks
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan memang perlambatan ekonomi di China bisa berdampak signifikan terhadap perekonomian Tanah Air. Pasalnya China memainkan peran yang sangat strategis bagi ekspor dan impor Indonesia. Ekspor Indonesia ke negeri tirai bambu tersebut mencapai lebih dari 18 persen. China saat ini juga berperan sebagai pelaku utama dalam daftar negara pengimpor bahan baku industri di Indonesia.
Situasi ini, kata Bhima, berpotensi menimbulkan imported inflation, yaitu inflasi karena mahalnya barang-barang impor. Bila kondisi ini terus berlanjut, maka pelaku usaha akan menahan produksi karena bahan baku relatif langka atau sulit diperoleh dengan harga yang terjangkau, dengan begitu harga jual di level konsumen akan naik dan tentunya akan menciptakan inflasi yang lebih tinggi.
“Oleh karena itu, inflasi di Oktober 2021, memang relatif masih rendah karena ada transmisi dari yang terjadi di China ke Indonesia mungkin butuh waktu dua hingga tiga bulan ke depan. Artinya kalau inflasinya saat ini baru 1,6 persen, maka tidak menutup kemungkinan tiga bulan ke depan artinya awal Januari 2022 inflasi bisa relatif lebih tinggi, bisa mencapai 3 hingga 4 persen secara year on year,” ungkap Bhima kepada VOA.
Menurutnya, pemerintah harus mewaspadai hal tersebut. Jika inflasi yang tinggi ini, tidak disertai dengan perbaikan konsumsi atau daya beli rumah tangga yang signifikan maka akan banyak masyarakat yang jatuh kembali ke bawah garis kemiskinan.
Perlambatan ekonomi global, ujar Bhima, ke depan juga akan lebih kompleks. Selain karena pandemi COVID-19 yang belum usai muncul krisis-krisis baru yang semakin memperkeruh suasana seperti krisis lingkungan hidup dan krisis energi yang sekarang menjadi perhatian dunia.
Maka dari itu pemerintah, katanya, harus melakukan evaluasi total terhadap seluruh kebijakan makro dan mikro ekonomi, serta fiskal dan moneter untuk menghadapi berbagai tekanan eksternal yang baru ini. Apabila hal tersebut tidak diantisipasi dengan baik, maka pemulihan ekonomi di 2022 akan sulit tercapai.
“Kalau kita bisa memanage dengan cukup baik maka pertumbuhan ekonominya masih terjaga positif tapi kalau krisisnya tidak bisa direspons dengan cepat, mungkin bisa mengalami perlambatan, kita hanya bahagia tumbuh mungkin sekitaran tiga-empat persen dan tentunya butuh waktu yang lebih lama untuk kembali ke pertumbuhan sebelum pandemi, yaitu di kisaran lima persen,” jelasnya. [gi/rs]