Seiring dengan merebaknya isu pembelian 5.000 senjata oleh institusi non-militer, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo telah menghadap Presiden Joko Widodo untuk menjelaskan hal tersebut.
Pertemuan pertama berlangsung pada Selasa malam (26/9), di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, sepulang kunjungan kerja Presiden dari Provinsi Bali. Yang kedua, pada Rabu sore (27/9) di Istana Merdeka Jakarta, bersama Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto.
Namun, baik Gatot maupun Wiranto, usai pertemuan itu tidak bersedia memberikan penjelasan sedikitpun seputar hasil pertemuan dengan Presiden, kepada awak media.
Sebelumnya bertempat di Jakarta Convention Center Rabu (28/9), Jokowi menjelaskan pertemuannya dengan Gatot Nurmantyo di Halim adalah seputar pernyataan Gatot selaku Panglima TNI tentang isu pembelian 5.000 senjata api yang kini menjadi perbincangan dalam masyarakat. Namun demikian Jokowi enggan menjelaskan secara rinci materi pembahasan dengan Gatot Nurmantyo.
"Ya, tadi malam, setelah saya dari Bali, (Panglima TNI) sudah bertemu saya di Halim. Sudah dijelaskan. Saya kira penjelasan dari Menko Polhukam sudah jelas. Saya kira tidak usah saya ulang lagi," kata Presiden Jokowi..
Presiden mengatakan tidak semua hasil pertemuan dapat ia sampaikan kepada media. Namun ia menyampaikan bahwa pernyataan Menkopolkam Wiranto melalui siaran pers tentang isu politik terkini tanggal 24 September 2017 sudah jelas.
"Ya, tidak bisa semua saya sampaikan," lanjut Presiden.
Sementara itu Gatot Nurmantyo kepada wartawan di Gedung DPR Rabu (27/9) mengatakan, penjelasan soal pembelian 5.000 pucuk senjata oleh institusi non-militer di hadapan purnawirawan TNI di Mabes TNI Cilangkap, bukanlah informasi intelijen. Gatot mengatakan informasi intelijen hanya boleh ia sampaikan kepada Presiden Jokowi selaku Panglima Tertinggi TNI.
"Informasi intelijen yang saya dapat hanya boleh diberikan pada Presiden. Pernyataan saya kepada Purnawirawan itu bukan informasi intelijen. Karena informasi intelijen harus mengandung siapa, apa yang dilakukan, bilamana kapan waktunya, di mana dan bagaimana. Jadi itu yang saya sampaikan kepada pak Presiden (di Halim). Yang saya sampaikan jangan tanyakan ke saya, karena 'gak boleh saya jelaskan. Saya hanya akan menyampaikan kepada Presiden," tegas Gatot Nurmantyo.
Gatot membantah ada teguran dari Presiden terkait masalah ini. Gatot menekankan hanya Presiden yang bisa menilai apakah ada salah komunikasi dalam masalah ini.
"Siapa yang bilang ditegur? Saya laporkan ke Presiden, gitu aja. Tanggapannya Presiden 'gak boleh saya sampaikan dong. Karena hal itu menjadi kewenangan Presiden. Nah kalau mis komunikasi atau tidak tanya Presiden. Dan itu saya pegang," lanjutnya.
Sementara itu Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Bandung Muradi kepada VOA menilai, Jenderal Gatot selaku pejabat negara tidak semestinya membuat pernyataan terbuka mengenai sesuatu hal yang belum tentu kebenarannya.
"Yang pertama bicara soal etika, ya. Dia 'gak etis, ketika dia menyatakan ke publik. Yang kedua, secara konten itu bukan bagian dari informasi yang bisa diserap oleh publik secara umum. Yang ketiga, Gatot tau betul mana yang harus dia sampaikan ke publik mana yang enggak. Nah, yang ke empat, Gatot mencoba memancing di air keruh, ya!," kata Muradi.
Muradi menambahkan, Gatot Nurmantyo telah melakukan sejumlah manuver politik dalam setahun belakangan ini. Muradi menyebut tiga contoh manuver Gatot, yakni saat momentum aksi demo 4 November (411) atau 2 Desember alias 212. Kedua, dengan mendorong momentum, misalnya melalui perintah nonton bareng film G30S/PKI. Ketiga, menciptakan momentum baru melalui pernyataan pembelian 5.000 senjata.
"Yang bersangkutan sedang melakukan manuver politik. Dia tidak sedang menjalankan posisinya sebagai seorang Panglima. Dia beberapa kali menunggangi momentum ya. Seperti aksi 411, aksi 212 dan sebagainya. Lalu selama Agustus kemarin dia mendorong menonton bersama film G30S. Dan sekarang soal ini. Dalam teori militer dan politik (pelibatan tentara dalam politik) yang bersangkutan sudah menjalankan fungsi itu secara sadar," imbuh Muradi.
Sebelumnya pada Minggu (24/9), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto membantah informasi yang disampaikan oleh Panglima TNI Jenderal, Gatot Nurmantyo mengenai adanya institusi yang membeli 5.000 senjata dari luar negeri. Wiranto menjelaskan, jumlah senjata adalah 500, bukan 5.000, dan dipesan dari PT Pindad, bukan diimpor. Pengadaanya juga diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan intelijen yang diadakan Badan Intelijen Negara (BIN). [aw/lt]