Korban-korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh sejumlah Pastor Katolik, menghadap Paus Fransiskus di Vatikan hari Rabu (20/2), untuk mengatakan kepada Paus apa yang mereka harapkan dari pertemuan di Vatikan mengenai masalah itu yang akan dihadiri oleh sejumlah uskup dari seluruh dunia. Mereka menyerukan agar doktrin gereja Katolik tidak memberi toleransi terhadap pelaku pelanggaran seperti itu.
Pertemuan empat hari yang membahas pelecehan seksual dibuka di balai sinode Vatikan hari Kamis (21/2) dan dihadiri sekitar 200 uskup dari seluruh dunia. Paus Fransiskus menyelenggarakan pertemuan itu karena krisis pelecehan masih terus merugikan kredibilitas hirarki gereja.
Sejumlah korban dan aktivis dari sekitar 20 negara juga berkumpul di Roma dan mereka sangat berharap konferensi puncak ini akan membuahkan hasil yang konkrit.
Di antara mereka adalah Peter Isely, seorang korban pelecehan seksual oleh seorang pastor di Amerika Serikat ketika ia anak-anak.
“Ini saat (momen) bersejarah yang sudah ditunggu berpuluh tahun dan kini telah terjadi. Paus Fransiskus dengan jelas menyadari hal ini sebagai masalah global. Itulah sebabnya kami mengundang uskup-uskup dari seluruh dunia karena ini masalah dunia,” ungkap Peter Isely.
Isely mengatakan, pola yang sama terdiri dari kebohongan, berusaha menyembunyikan dan tidak bertanggung-jawab oleh pemimpin-pemimpin gereja terjadi di mana-mana. Dia dan korban lainnya akan mengajukan tuntutan kepada satu-satunya orang yang menurut mereka punya kemampuan mengubah situasi ini lewat wewenang yang dimilikinya. Korban-korban mengatakan, mereka memperoleh harapan baru ketika Paus Fransiskus terpilih enam tahun yang lalu.
“Ia memilih nama Fransis. Itu adalah hal yang luar biasa dan berani. Mengambil nama Fransiskus Asisi, seorang Santo yang paling dicintai gereja Katolik. Santo Fransiskus adalah pembela semua orang, pembela dunia dan dengan mengambil namanya berarti ia akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Santo Fransiskus. Ia akan (mereformasi) gereja ini,” harapnya.
Korban-korban pelecehan ingin janji Paus Fransiskus enam tahun lalu dipenuhi, yaitu tidak memberi toleransi.
Isely menambahkan, toleransi nol itu punya dua dimensi. Tidak memberi toleransi kepada setiap anggota gereja yang melakukan pelechan dan juga mereka yang menutup-nutupi kejahatan seksual terhadap anak-anak.
Sejumlah korban mengatakan, setelah itu dituangkan ke dalam undang-undang gereja, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi para pelaku pelecehan dan memecat mereka dari jabatannya. Harapan terakhir adalah mencapai apa yang selama ini tampaknya tidak mungkin, yaitu: “Sebuah gereja Katolik yang benar-benar bercirikan pasca-pelecehan dan bebas dari upaya menyembunyikan kejahatan seksual.”. (ps/jm)