Kecaman keras muncul menyusul keluarnya keputusan parlemen Somalia, Selasa (11/8), untuk mempertimbangkan rancangan undang-undang (RUU) yang akan mengizinkan perkawinan anak segera setelah organ seksual perempuan dianggap matang. RUU tersebut juga akan membolehkan praktik kawin paksa sepanjang ada izin keluarga.
Pramila Patten, utusan khusus PBB untuk urusan kekerasan seksual di kawasan konflik, mengatakan, RUU itu merupakan kemunduran besar dalam usaha memerangi kekerasan seksual di Somalia dan berbagai penjuru dunia. Ia mengatakan RUU itu seharusnya segera ditolak dan tidak dipertimbangkan sama sekali.
Komisioner HAM PBB Michelle Bachelet menyampaikan pandangan serupa. Ia mengatakan, RUU itu memperlemah perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Ia berpendapat, RUU itu seharusnya dicegah untuk menjadi undang-undang karena bisa memberi sinyal keliru ke negara-negara lain di kawasan tersebut.
Ribuan orang di Somalia kini mengedarkan petisi yang menentang RUU itu, termasuk Ilwad Elman, seorang Kanada keturunan Somalia yang mendirikan organisasi Elman Peace, sebuah LSM di Mogadishu.
Dalam sebuah cuitannya di Twitter pada Peringatan Hari Pemuda Internasional, Rabu (12/8), ia mengatakan: “Saya tidak ingin melihat pejabat Somalia berpartisipasi secara online untuk memperingati Hari Pemuda, sementara mereka saat ini mencuri masa kanak-kanak para pemuda dengan RUU yang melegalkan kawin anak.”
Berdasarkan Analisa PBB pada tahun 2014 hingga 2015, lebih dari 45% perempuan di Somalia dikawinkan pada usia di bawah 18 tahun.
RUU baru yang kontroversial ini muncul sementara kelompok-kelompok advokasi hak-hak perempuan mengkhawatirkan bahwa pandemi virus corona telah meningkatkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Somalia.
Perintah tinggal di rumah dan pembatasan perjalanan membuat banyak perempuan dan anak menjadi korban kekerasan seksual dalam keluarga. Karena tekanan ekonomi dan penutupan sekolah, kasus perkawinan anak dilaporkan meningkat di beberapa wilayah negara itu. [ab/uh]