Generasi kedua diaspora Indonesia di Amerika Serikat akan menggunakan hak pilih dalam pemilihan presiden 2020. Berbeda dengan para orang tua mereka, para pemilih muda itu lebih ‘melek’ dinamika politik AS dan aktif mengambil peran yang lebih luas.
Lahir dan tumbuh dewasa di AS memberi kesempatan kepada para generasi kedua itu untuk belajar dinamika politik Amerika Serikat dari berbagai sumber informasi, baik secara formal di sekolah mau pun dari media. Sumber-sumber informasi tersebut menjadi bekal menentukan pilihan dalam pemilihan.
“Saat saya dewasa, saya belajar lebih banyak di sekolah. Kami harus belajar tentang berbagai masalah sosial dan hal-hal seperti itu,” ujar Rania Bakhri, yang lahir dan besar di Philadelphia.
Kedua orang tua mahasiswi Temple University di Philadelphia itu hijrah ke AS sekitar 20 tahun lalu.
Berdasarkan data Pew Research Center pada 2015, 48 persen diaspora indonesia adalah generasi kedua yang lahir di Amerika dengan rentang usia 5 hingga 17 tahun. Para generasi kedua diaspora Indonesia langsung mendapatkan untuk memilih. Sementara orang tua mereka harus melalui proses panjang naturalisasi untuk menjadi warga negara AS sebelum bisa menggunakan hak pilih.
Pilpres AS tahun ini menjadi ajang perdana bagi mereka untuk menggunakan hak pilih.
Kondisi sadar politik tersebut membuat para generasi kedua diaspora Indonesia berperan lebih luas dalam menyuarakan aspirasi politik. Tak sekadar memberikan hak pilih.
"Saya pikir generasi kedua Indonesia lebih memahami politik Amerika, beberapa pasti lebih tertarik,” ujar Nabila Prasetiawan, mahasiswi University of Maryland, College Park.
Nabila lahir di AS pada 2000, sementara orang tuanya telah menetap di AS sejak 1990-an.
Membawa Perubahan
Nadia Syahmalina, wakil ketua daerah pemilihan Montgomery County dari Partai Demokrat, menyadari kekuatan pemilih muda dari generasi kedua diaspora Indonesia.
“Jadi, ada banyak kekuatan di dalamnya, dalam kelompok usia tersebut. Dan saya ingin kita dapat benar-benar memanfaatkan suara masa muda kita,” tukasnya.
Nabila Prasetiawan mengatakan generasinya dapat membantu membawa perubahan. Mahasiswi jurusan Filsafat Politik Ekonomi dan Studi Perempuan itu berharap ke depannya akan lebih banyak orang Indonesia-Amerika yang terlibat di dalam ranah politik.
Apalagi, populasi kelompok-kelompok minoritas lainnya semakin membesar sehingga menjadi sangat efektif dalam melobi isu-isu tertentu.
“Saya berharap generasi saya benar-benar aktif sehingga kami dapat melakukan advokasi untuk isu-isu yang berdampak pada kami. Dan saya akan senang jika kami dapat menjadi lebih banyak pembangkit tenaga,” ujar Nabila yang bercita-cita terjun ke dunia politik dan menjadi pejabat publik.
Nabila tidak sendiri. Harapan agar diaspora Indonesia menjadi kelompok yang diperhitungkan di AS juga diamini oleh George Mark, mahasiswa Baruch College, New York. Orang tua George pindah ke AS pada 1998.
“Mudah-mudahan suatu hari nanti kita punya Presiden Indonesia. Itu mimpi,” kata George. [vg/ah/ft]