Ratusan orang menggelar aksi di depan rumah dinas Wali Kota Solo, Loji Gandrung, Senin (16/10). Rumah itu biasa dipakai Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjamu para tamu.
Juru bicara Aksi Aliansi Seniman Tradisi Solo, Joko Suranto, mengatakan ratusan warga yang menggunakan atribut pita hitam dan tapa bisu simbol keprihatinan itu ingin mengingatkan pimpinan kota Solo untuk menjaga amanah.
"Kita tidak ada tendensi apa-apa, cuma ya kita orang Jawa, topo bisu biar istilahnya pimpinan-pimpinan kita yang tahu. Mungkin ada kaitannya (prihatin dengan kondisi negara), kita topo bisu. Jadi tidak ada tendensi kemana-mana. Cuma mungkin sedikit banyak mengingatkan kepada pimpinan di Solo," ujar Joko usai aksi yang hanya berlangsung kurang dari 15 menit itu.
Joko menambahkan dalam bahasa Jawa, topo bisu kira-kira ingin mengungkapkan "yen koe tak elikne wegah ya aku tak meneng wae."
"Istilahe bahasa kerennya 'ya, kalau kamu sudah diingatkan masyarakatmu, tidak peduli, ya kita juga akan cuek,” tuturnya.
Lebih lanjut Joko menjelaskan aksi tapa bisu itu merupakan bentuk keprihatinan masyarakat dengan kondisi politik saat ini. Aksi ini digelar menjelang detik-detik pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan usia capres dan cawapres.
Dalam aksinya tersebut, ratusan warga mengenakan busana serba hitam dengan potongan kain hitam dipasang melingkari kepala. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan penolakan politik dinasti.
Tak hanya itu, poster dengan tulisan kutipan dalam bahasa Jawa: "Ojo Dumeh" artinya :Jangan Mentang-Mentang” atau “Jangan Sewenang-wenang” menghiasi aksi ratusan warga itu.
Gibran bungkam
Wali Kota Solo Gibran Rakabuming sempat menemui para pengunjuk rasa sejenak. Ia mengaku tidak mengikuti hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan batas usia capres dan cawapres. Gibran meminta tidak mengaitkan putusan itu dengan dirinya, yang kini mulai masuk ke dunia politik.
Gibran juga enggan ditanya soal MK dan mengalihkan ke isu yang lain.
"Saya nggak tahu putusane (putusannya). Wong, lagi rampung rapat kok (saya baru selesai rapat kok)," ujar Gibran.
Ketika ditanya soal gugatan batas usia cawapres yang ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), Gibran mempersilakan wartawan untuk menanyakan langsung kepada MK.
"Makanya jangan mengira-ngira. Jangan menuduh-nuduh, jangan demo. Wes klir ya, ojo (jangan) bahas MK ya. MK itu putusan di MK, tanya orang MK, tanya penggugatnya atau tanya ke pakar hukum. Aku nganti ora nggagas (saya sampai tidak mikir) ditolak atau diterima, aku ora (tidak) ngerti,” ujar putra sulung Presiden Jokowi di Balai Kota.
Ia justru mempertanyakan aksi di berbagai daerah yang mengaitkan dirinya dengan gugatan di Mahkamah Konstitusi. Ia juga menolak sindiran soal politik dinasti dan plesetan Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga karena Ketua MK tidak lain adalah paman Gibran sendiri.
Sebagaimana diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Senin sore (16/10) menolak uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terkait batas usia capres-cawapres. Dengan begitu, usia minimal 40 tahun tetap menjadi syarat bagi capres dan cawapres. Putusan ini diketok oleh sembilan hakim konstitusi.
Namun, majelis hakim menambahkan petitum persyaratan tambahan pernah atau sedang menjadi kepala daerah atau legislatif untuk bertarung di pemilu. Syarat ini membuka peluang bagi Gibran maju di Pilpres 2024.
Pakar Hukum Pahami Putusan MK
Pakar hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Profesor Sunny Ummul Firdaus merespons positif putusan MK terkait gugatan batas usia capres dan cawapres.
Menurut Sunny, tidak ada dasar hukum mengurangi batas usia capres dan cawapres karena tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) atau dampak kerugian secara hukum bagi penggugat, terutama partai politik.
"Kalau menurut saya, tidak berbicara di usia 40, 35, 70 atau lainnya. tetapi mengambil Pasal 28 UUD (Undang-Undang Dasar) 1945. Persamaan di depan hukum, hak memilih dan dipilih itu kan di usia 17 tahun. Ya open legal policy diserahkan kepada DPR (Dewan Perwakilan Raktyat) selaku pembentuk UU. Kalau soal usia pencalonan loh ya," ujar Sunny kepada VOA.
Jika tidak mengatur soal usia, Sunny menyarankan diserahkan ke partai politik yang harus bijaksana saat membahas.
"Digodok parpol, kembalikan ke rakyat, kalau rakyat nggak memilih karena faktor umur atau pengalaman di pemerintahan ya selesai. Ini arah demokrasi yang baik,” imbuhnya.
Lebih lanjut Sunny yang menjabat kepala Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional UNS itu menjelaskan bagaimana UUD 1945 menjadi pijakan konstitusi dalam bernegara.
Sunny menyatakan putusan itu menjadi cermin bagi partai politik untuk menyiapkan kader terbaiknya dengan rekam jejak positif untuk maju di Pemilu . Bagi Sunny, gugatan itu kebetulan menjadi peluang bagi Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi.
"Jadi kebetulan saja saat ini gaungnya ke Gibran Rakabuming. Jadi publik berpikirnya ke politik dinasti inilah, itulah. Oke lah. Kalau saya hukum itu produk politik, banyak kepentingan politik. Tetapi Mahkamah Konstitusi tidak boleh berpolitik,” tegas Guru besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNS Solo.
Gibran terima banyak tawaran
Sebelumnya, Gibran Rakabuming mengaku menerima banyak tawaran untuk maju di pilpres maupun pilkada (pemilihan kepala daerah) 2024. Tawaran politik itu muncul dari relawan dan partai politik. Gibran menegaskan dirinya masih kader PDI Perjuangan dan akan mematuhi aturan partai.
"Saya respons santai saja. Yang dorong pengin saya jadi cawapres ada. Pengin saya tetap jadi wali kota juga ada. Yang dorong saya pengin jadi Gubernur Jakarta atau Jawa Tengah juga ada. Relawan dan aspirasi masyarakat kan seperti itu. Ada yang mau ini, mau itu. Saya tampung dulu semua masukan dari relawan, masyarakat, atau partai politik lain,” ujar Gibran di Balai Kota, pada 11 Oktober lalu.
Meskipun banyak pihak meragukan hasil kinerja dan pengalaman politiknya selama ini, Gibran mengatakan akan fokus bekerja untuk publik. [ys/em]
Forum