Paus Fransiskus hari Minggu (17/12) merayakan ulang tahun ke 87, di mana ia menutup tahun yang menjadi tonggak besar dalam upayanya mereformasi Gereja Katolik, dan masalah kesehatan menimbulkan pertanyaan tentang masa depannya sebagai Paus.
Paus merayakan ulang tahunnya dengan meniup satu lilin di atas sebuah kue berukuran besar, didampingi beberapa anak, di hadapan sejumlah besar orang di Lapangan Santo Petrus. Acara yang dilangsungkan seusai pemberkatan mingguannya itu juga diwarnai dengan spanduk bertuliskan “Selamat Ulang Tahun.”
Salah satu hadiah yang datang lebih awal pada hari Sabtu (16/12) adalah ketika pengadilan Vatikan menjatuhkan putusan bersalah dan sekaligus pembebasan dalam suatu persidangan yang rumit yang didukung Paus, sebagai bukti reformasi keuangan yang dilakukannya. Terdakwa Kardinal Angelo Becciu divonis bersalah melakukan penggelapan dan dijatuhi hukuman 5,5 tahun penjara.
Tahun yang Berat
Pakar sejarah di Kean University, di New Jersey, Prof. Christopher Bellitto mengatakan “ini merupakan tahun yang cukup berat bagi Paus, yang jelas-jelas memikirkan tentang legasi dan penyelesaian masalah yang ada.”
Menurut sumber online Catholic Hierarchy, hanya tujuh paus yang diketahui berusia lebih tua dari Paus Fransiskus saat tutup usia. Paus Fransiskus mendekati salah satu dari mereka, yaitu Paus Gregorius XII, dan yang mungkin paling dikenal sebagai Paus terakhir yang mengundurkan diri yaitu Paus Benediktus XVI, yang mundur pada tahun 2013.
Gregorius berusia 88,5 tahun ketika ia secara sukarela mengundurkan diri pada tahun 1415 guna mengakhiri Skisma Barat (Western Schism) di mana terdapat tiga orang yang saling mengklaim kepausan.
Paus Fransiskus juga telah mengatakan bahwa ia akan mempertimbangkan untuk mengundurkan diri jika kesehatannya membuatnya tidak dapat melanjutkan pekerjaannya. Namun dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi, Paus mengatakan tugas Paus adalah seumur hidup.
Masalah Kesehatan
Tahun 2023 ini Paus dua kali mengalami gangguan pernapasan, yang memaksanya membatalkan acara-acara besar. Yaitu saat musim semi, ketika serangan bronchitis membuatnya harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari dan melewatkan prosesi Jumat Agung di Colosseum. Dan yang kedua, gangguan bronchitis yang kembali memaksanya membatalkan rencana perjalanan ke Dubai untuk mengikuti KTT Iklim COP28. Salah satu paru-paru Paus sudah diangkat saat ia masih muda, sementara satu lainnya tampaknya semakin rentan terhadap masalah pernapasan, membuatnya sulit bernapas dan berbicara.
Di sela-sela kejadian itu, Paus kembali dirawat di rumah sakit selama sembilan hari pada bulan Juni lalu, supaya pakar bedah dapat memulihkan hernia perut dan menghilangkan jaringan parut dari operasi usus sebelumnya. Direktur Pusat Agama dan Kebudayaan di Universitas Fordham, David Gibson, mengatakan rawat inap itu menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan Paus melanjutkan kepausan di zaman modern, yang semakin bergantung pada pribadi Paus. “Ini merupakan kemajuan besar dibanding saat seorang Paus hanya berfungsi sebagai seorang raja yang bertahta dan dikelilingi oleh istana kerajaan,” ujarnya seraya menambahkan “tetapi dengan harapan seperti ini, dapatkah Paus mana pun memerintah pada usia 80 tahun atau bahkan usia 90 tahun, dan efektif?”
Meskipun masalah kesehatannya menandai ulang tahunnya yang ke 87, salah satu hal yang mungkin menjadi tonggak sejarah dari semuanya dan yang mungkin mempengaruhi sisa masa kepausan Fransiskus adalah kematian Benediktus pada tanggal 31 Desember 2022.
Benediktus menepati janjinya untuk hidup “tersembunyi dari dunia,” dan mengizinkan Paus Fransiskus memerintah tanpa hambatan. Namun kematiannya, lebih dari sepuluh tahun setelah mengundurkan diri, menghilangkan bayangan Paus yang lebih konservatif, yang seakan-akan mengawasi Paus Fransiskus dari sisi lain Vatikan. Kematian Benediktus tampaknya memberi keleluasaan bagi Paus Fransiskus untuk mempercepat agenda reformasi dan mengambil tindakan terhadap lawan-lawannya di sayap kanan.
Paus Intensfikan Reformasi Gereja Katolik
Sebagai permulaan, Paus Fransiskus memimpin tahap pertama pertemuan tentang masa depan Gereja Katolik, yang disebut-sebut akan menjadi warisannya. Sinode ini bertujuan untuk membuat gereja lebih inklusif, reflektif dan responsive terhadap kebutuhan umat Katholik. Sesi pertama sinode ini diakhiri dengan seruan “mendesak” untuk melibatkan perempuan dalam peran pengambilan keputusan di gereja. Tahap sinode selanjutnya dijadwalkan pada bulan Oktober 2024.
Gibson mengatakan, “Upaya mengubah sifat pemerintahan yang ketat – dari atas ke bawah – dalam agama Katolik, adalah proyek reformasi utama kepausan Fransiskus. Keberhasilan atau kegagalannya kemungkin besar akan menjadi warisan utamanya.” Ditambahkannya, masih belum ada kepastian apakah upaya itu akan berhasil karena masa transisi yang “berantakan dan sangat melelahkan.”
Bersamaan dengan sinode itu, Paus Fransiskus tahun ini menunjuk seorang pakar teologi progresif yang luar biasa sebagai Kepala Pengawas Doktrin Vatikan, dan dengan nafas yang sama sekali baru, ia telah mulai menetapkan ajaran-ajaran yang dapat menimbulkan dampak besar bagi masa depan gereja.
Kardinal Victor Fernandez telah mengeluarkan dekrit tentang segala hal, mulai dari cara merawat abu kremasi di tempat yang telah ditentukan dan sakral, hingga keanggotaan dalam Masonik dan apakah kaum transgender dapat menjadi wali baptis. Fernandez menyatakan keanggotaan Masonik adalah sesuatu yang terlarang, dan kaum transgender dapat menjadi wali baptis.
Paus Ambil Tindakan terhadap Pengecamnya
Pada saat bersamaan, Paus mulai membalas para pengecam konservatifnya yang menjadi rujukan Benediktus selama sepuluh tahun terakhir. Paus mengasingkan juru bicara Benediktus sejak lama, yaitu Uskup Agung Georg Gaenswein ke Jerman, yang merupakan negara asalnya, setelah serangkaian pelanggaran yang mencapai puncaknya dengan penerbitan memoar yang sangat mengkritik kebijakan Paus Fransiskus, beberapa hari setelah kematian Benediktus.
Paus juga mencopot secara paksa Uskup Texas Joseph Strickland yang pernyataan-pernyataannya di media sosial sangat mengecam keras Fransiskus.
Dan baru-baru ini Paus memecat matan hakim pengadilan tinggi Vatikan, Kardinal Raymond Burke, setelah ia memperingatkan bahwa sinode yang sangat reformis, yang dilangsungkan Paus, berisiko memecah belah umat beriman.
Natalia Imperatori-Lee, seorang pakar studi agama di Manhattan College, mengatakan penolakan terhadap Burke bukan sebuah “pukulan keras” dan hanya memiliki dampak nyata yang kecil karena ia memiliki banyak pendukung kaya raya di Amerika. Namun ini merupakan bagian dari tahun penting yang menjadi titik puncak sinode, yang hasilnya akan mendorong Paus Fransiskus setidaknya untuk satu tahun lagi.
“Saya kira Paus sedang memikirkan warisannya dengan cara yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan kematian Benedict, mungkin lebih merupakan masalah kematian Benedict yang menjadi lebih nyata bagi Paus mengingat penyakit yang dideritanya baru-baru ini,” ujarnya.
Lebih jauh Natalia mengatakan, “Sinode jelas merupakan bagian besar dari warisan itu, dan kita dapat melihat investasi Paus dalam menyukseskannya. Saya berani bertaruh, melihat hasil sinode bagian kedua nanti merupaka hal yang sangat memberinya motivasi besar saat ini.” [em/lt]
Forum