Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres, Selasa (12/5) pekan lalu, melangsungkan pertemuan tingkat tinggi melalui video telekonferensi untuk membahas peran pemimpin agama dalam menghadapi meluasnya perebakan virus corona.
“Ketika virus datang membawa malapetaka dan gangguan dalam skala yang tidak pernah terjadi selama beberapa generasi ini, kita mulai sadar bahwa perbedaan yang acapkali memecah belah kita tidak ada artinya dibanding bencana pandemi ini,” kata Antonio dalam pidatonya.
“Pandemi ini tidak mengenal perbedaan agama atau spiritual. Tidak peduli adanya perbatasan wilayah. Kerentanan bersama ini menunjukkan bahwa kita ini sama-sama manusia yang lemah,” imbuhnya.
Lebih jauh Guterres mengajak seluruh pemimpin agama untuk memainkan peran lebih besar guna mengatasi pandemi virus corona, termasuk melawan mereka yang suka menyebarluaskan rasa permusuhan dan prasangka, xenofobia atau kebencian pada orang asing, bias terhadap kelompok minoritas dan mereka yang memanfaatkan teori konspirasi untuk menimbulkan perpecahan.
Dihubungi melalui telepon Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU KH. Robikin Emhas mengatakan mendukung seruan Sekjen PBB Antonio Guterres.
“Kami menyambut baik putusan Sekjen PBB yang memasukkan elemen agama, yang diwakili berbagai tokoh agama dan aliran kepercayaan, tidak hanya memberikan bimbingan bagaimana menjalankan peribadatan di tengah Covid, tetapi juga lainnya,” kata Emhas.
Nahdlatul Ulama, Emhas mengatakan, sudah lama menggaungkan rumusan persaudaraan antar manusia untuk mencegah rasa permusuhan dan prasangka.
Rumusan itu tertuang dalam tiga konsepsi tentang persaudaraan, yaitu persaudaraan dalam iman, persaudaraan setanah air dan persaudaraan umat manusia.
“Betapa jika kita memiliki perbedaan dalam hal-hal lain, patut disadari bahwa kita tetap bersaudara dalam keimanan yang sama,” papar Emhas.
“Jika keimanannya tidak sama dan kita satu kewarganegaraan, maka kita punya konsepsi persaudaraan setanah air. Jika pun tidak seiman dan tidak setanah air, kita punya konsepsi persaudaraan umat manusia,” imbuhnya.
Diwawancarai seusai mengikuti "Doa Kebangsaan dan Kemanusiaan" bersama Presiden Joko Widodo dan lima pemimpin agama lainnya pada 14 Mei lalu, Kardinal Ignatius Suharyo mengatakan seruan Sekjen PBB Antonio Guterres itu sangat serupa dengan apa yang disampaikan dalam acara itu.
“Kesimpulan yang sama kita tadi dari doa yang baru selesai dilaksanakan ini. Doa yang diucapkan oleh enam pimpinan komunitas iman isinya juga sangat serupa. Demikian pula puisi yang dibacakan para pejabat negara, yang juga mengungkapkan harapan yang sama. Semoga 'tanda zaman' berupa Covid-19 ini semakin mendorong persaudaraan universal kita,” ujar Uskup Agung Jakarta ini.
Selain diikuti Kardinal Ignatius Suharyo, “Doa Kebangsaan dan Kemanusiaan” yang disiarkan oleh hampir seluruh stasiun televisi itu, juga diikuti oleh Prof. Dr. KH. Quraish Shihab yang mewakili umat Muslim, Pdt. Dr. Ronny Mandang M.Th yang mewakili umat Kristen, Ida Pedanda Nabe Gede Bang Buruan Manuaba yang mewakili umat Hindu, Sri Panyavaro Mahatera yang mewakili umat Budha, dan Xs. Budi S. Tanuwibowo yang mewakili umat Konghucu.
Sejak virus corona merebak di seluruh dunia awal Maret lalu, PBB sudah mencatat terjadinya stigmatisasi, prasangka dan bias terhadap kelompok minoritas yang kini semakin terus meningkat.
PBB melaporkan bagaimana ketika 14.000 migran Mozambik kembali dari Afrika Selatan muncul kekhawatiran mereka akan menularkan Covid-19. Para petugas kesehatan di Organisasi Migrasi Internasional IOM mengatakan dari 850 migran yang diperiksa dalam kurun waktu empat minggu ketika menyebrangi perbatasan, tidak satu pun mengidap Covid-19. IOM mencatat bahwa dalam kasus terorisme hingga wabah penyakit, migran kerap dijadikan kambing hitam.
“Penyakit-penyakit ini seringkali dinilai sebagai sesuatu yang disebabkan oleh orang asing,” ujar Direktur IOM Antonio Vitorino. Hal ini terjadi dalam kasus wabah kolera tahun 1830an, HIV/AIDS pada 1980an, wabah flu H1N1 ada 2000, dan kini Covid-19.
Seiring menguatnya stigmatisasi terhadap warga keturunan Asia dan Eropa, meluas pula konspirasi teori anti-Yahudi dan terjadinya serangan anti-Muslim.
Menurut WHO, hal-hal ini mendorong orang menyembunyikan penyakit mereka supaya tidak didiskriminasi. Ini terbukti dalam kasus perebakan virus corona di Amerika, di mana banyak warga migran – termasuk warga negara Indonesia – yang memilih tidak melapor atau datang ke rumah sakit untuk memeriksakan diri karena khawatir akan menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari lingkungan mereka. Hal ini ditengarai berakibat buruk pada upaya pemberantasan virus mematikan ini. [em/jm]