PBB meminta pemerintah negara-negara agar berfokus pada layanan kesehatan jiwa sementara orang di seluruh dunia menghadapi pandemi virus corona.
“Setelah lalai dan kurangnya dana selama puluhan tahun dalam layanan kesehatan jiwa, pandemi COVID-19 kini memukul keluarga-keluarga dan komunitas dengan tekanan mental,” kata Sekjen PBB Antonio Guterres, Kamis (14/5).
Ia mengatakan petugas layanan kesehatan, tua dan muda, dan mereka yang telah memiliki masalah kesehatan jiwa atau menghadapi konflik dan krisis, adalah kelompok yang paling berisiko.
“PBB berkomitmen kuat untuk menciptakan dunia di mana setiap orang, di manapun, ada seseorang yang mencari dukungan psikologis,” kata Guterres. “Saya mendesak pemerintah, masyarakat madani, otoritas kesehatan dan yang lainnya untuk bersatu segera mengatasi dimensi kesehatan jiwa dalam pandemi ini.”
Pesan pemimpin PBB itu menyusul pesan lainnya dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan virus sejauh ini telah menjangkiti lebih dari 4,3 juta orang dan menewaskan sekitar 300 ribu orang yang mungkin menjadi endemic seperti HIV, virus penyebab AIDS.
Virus bisa tetap bertahan di tengah masyarakat meskipun vaksin telah ditemukan, kata direktur masalah kedaruratan WHO Mike Ryan dalam konferensi pers virtual dari Jenewa. “HIV belum hilang, tetapi kita telah mulai memahami virus ini,” ujarnya.
Sekitar 100 organisasi dari seluruh dunia sedang berupaya membuat vaksin virus corona. Seandainya pun mereka menemukan vaksin yang efektif, menanggulangi virus akan memerlukan “upaya besar-besaran,” ujar Ryan.
Meskipun sejumlah negara telah mulai melonggarkan lockdown, pandemi telah berdampak besar terhadap ekonomi.
Suatu laporan PBB memperkirakan ekonomi dunia menyusut lebih dari tiga persen tahun ini, penurunan tajam dari Januari lalu sewaktu badan dunia itu memperkirakan pertumbuhan 2,5 persen di seluruh dunia.
Selandia Baru kembali melaporkan tidak ada kasus baru, hari Kamis, dan mengizinkan pusat-pusat perbelanjaan, toko dan restoran-restoran buka kembali. Langkah ini merupakan bagian dari pembukaan secara bertahap di negara itu setelah lockdown yang ketat selama satu bulan ini, dan masyarakat masih harus mematuhi peraturan-peraturan social distancing dan membatasi banyaknya orang dalam satu pertemuan.
Di AS, pakar virus terkemuka pemerintah Dr. Anthony Fauci, memperingatkan masyarakat dan para pemimpin mengenai bahaya terlalu cepat membuka kembali aktivitas dan risiko wabah yang mungkin sulit dikendalikan.
Namun, Presiden Donald Trump hari Rabu (13/5) mengatakan bahwa rakyat ingin aktivitas negara dibuka lagi, termasuk bisnis dan sekolah.
“Kita harus membuka negara kita. Sekarang, kita ingin melakukannya dengan aman, tetapi kita juga ingin melakukannya sesegera mungkin. Kita tidak dapat terus seperti ini,” kata Trump.
Mahkamah Agung di negara bagian Wisconsin, Rabu (13/5) memutuskan bahwa menteri kesehatan pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perintah tetap tinggal di rumah yang seharusnya berlangsung 26 Mei. Partai Republik menentang perintah itu, dan setelah pemungutan suara, putusan pembatasan di negara bagian terhadap bisnis nonesensial, perjalanan dan pertemuan berkelompok dicabut.
Gubernur Tony Evers menolak putusan itu, dengan mengatakan putusan itu membuat negara bagian tersebut “kacau” dan bahwa “tidak dipertanyakan siapa pun lagi bahwa orang akan jatuh sakit.”
Wali kota Washington, D.C., Muriel Bowser, memperpanjang perintah tinggal di rumah di ibu kota AS ini, yang seharusnya berakhir Jumat ini, menjadi 8 Juni. Bowser mengatakan ia menginginkan ada penurunan kasus-kasus baru itu secara stabil selama dua pekan sebelum mencabut pembatasan. Gubernur-gubernur negara bagian tetangganya, Virginia dan Maryland, berencana melonggarkan lockdown di daerah-daerah di mana penyebaran virus telah dihentikan.
Kabupaten Los Angeles, California, kabupaten berpenduduk 10 juta jiwa - paling padat di AS, diperkirakan akan mengumumkan lockdown diperpanjang tiga bulan lagi. [uh/ab]