PBB, Kamis (4/6) menyatakan penindakan brutal pemerintah Presiden Filipina Rodrigo Duterte terhadap mereka yang diduga pengedar narkoba telah dilakukan “dengan mengorbankan hak asasi manusia.”
Dalam suatu laporan baru, Kantor HAM PBB menyatakan “fokus pada penindakan keras dalam menghadapi ancaman keamanan nasional dan narkoba” telah menyebabkan pelanggaran HAM serius, termasuk “pembunuhan dan penahanan sewenang-wenang, selain fitnah terhadap pembangkang.”
Duterte melancarkan kampanye antinarkoba tidak lama setelah menjabat pada tahun 2016. Laporan PBB menyatakan angka-angka resmi menunjukkan bahwa sejak dimulainya kampanye antinarkoba Duterte pada tahun 2016, sedikitnya 8.663 orang telah tewas, dengan sebagian kalangan memperkirakan jumlah aktualnya tiga kali lipat lebih daripada angka tersebut.
Kantor HAM PBB menyatakan pembunuhan itu telah dilakukan polisi yang bertindak “hampir dengan kebebasan dari hukuman.” Menurut laporan itu, retorika panas oleh para pejabat tinggi, seperti seruan untuk “menegasi” dan “menetralisasi” tersangka pengedar, mungkin membuat polisi mengira pihaknya memiliki “izin untuk membunuh.”
Selain kematian ribuan tersangka pengedar narkoba, sedikitnya 248 aktivitas HAM, profesional hukum, wartawan dan anggota serikat buruh tewas antara 2015 dan 2019.
Menurut laporan itu, pengecam kampanye antinarkoba pemerintah dituduh sebagai komunis atau teroris. Sebagian dari mereka yang dituduh itu akhirnya tewas, sementara yang lainnya mengatakan kepada para investigator PBB bahwa mereka menerima ancaman pembunuhan atau komentar-komentar bermuatan seksual di pesan pribadi atau di media sosial. [uh/ab]