Pemerintah-pemerintah dapat mengendalikan perubahan iklim dengan biaya terjangkau namun harus mengurangi emisi gas rumah kaca sampai nol pada 2100 untuk membatasi risiko kerusakan yang tak dapat dibalikkan, menurut sebuah laporan PBB, Minggu (2/11).
Laporan sepanjang 40 halaman tersebut, yang merangkum hasil kerja 5.000 halaman dari 800 ilmuwan yang telah diterbitkan sejak September 2013, mengatakan bahwa pemanasan global sekarang ini menyebabkan lebih banyak cuaca panas ekstrem, hujan besar, pengasaman laut dan naiknya permukaan laut.
"Ilmu pengetahuan telah berbicara. Tidak ada ambiguitas dalam pesannya. Para pemimpin harus bertindak, waktu tidak berpihak pada kita," ujar Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon saat mempresentasikan laporan ini di Kopenhagen yang dimaksudkan untuk memandu pembuatan kebijakan iklim global.
Dengan aksi cepat, perubahan iklim dapat dikendalikan dengan biaya terjangkau, ujarnya, mengacu pada sebuah tujuan PBB yang membatasi peningkatan suhu rata-rata menjadi 2 derajat Celsius di atas zaman pra-industrial. Suhu-suhu sudah meningkat 0,85 derajat Celsius saat ini.
Studi yang dilakukan Panel Antar-Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC), yang disetujui oleh lebih dari 120 pemerintah, akan menjadi buku panduan utama bagi para negosiator perjanjian PBB untuk memerangi pemanasan global yang dijadwalkan berlangsung dalam sebuah konferensi tingkat tinggi di Paris, Desember 2015.
Untuk mempertahankan kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celsius, skenario-skenario laporan tersebut menunjukkan bahwa emisi-emisi dunia harus berada antara 40 dan 70 persen pada 2050 dari tingkat-tingkat saat ini dan untuk mencapai "hampir nol atau di bawahnya pada 2100."
Di bawah nol berarti harus ada ekstraksi karbon dioksida dari atmosfer, misalnya dengan menanam hutan yang menyerap karbon saat pohon-pohon tumbuh atau dengan mengubur emisi dari pembangkit listrik yang menggunakan kayu bakar atau biomassa lainnya.
Energi Terbarukan, Nuklir
Untuk mengurangi emisi, laporan ini memberikan pilihan-pilihan termasuk efisiensi energi, energi terbarukan dari tenaga angin sampai tenaga surya, pembangkit listrik tenaga nuklir atau tenaga batu bara dengan menghilangkan karbon dioksida dari saluran gas buang dan dikubur di bawah tanah.
Namun penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) mahal dan belum banyak teruji. Bulan lalu, Saskatchewan Power dari Kanada membuka unit CCS besar pertama di dunia pada sebuah pembangkit listrik tenaga batu bara dengan penambahan biaya US$1,21 miliar.
"CCS sangat memungkinkan penggunaan bahan bakar fosil dalam skala besar," ujar ketua IPCC Rajendra Pachauri. Dalam skenario kebanyakan, laporan tersebut mengatakan "pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil tanpa CCS dihilangkan hampir selurunya pada 2100."
Tanpa upaya ekstra untuk menghapus emisi, "pemanasan pada akhir abad 21 akan membawa risiko-risiko tinggi dari dampak-dampak berat, menyebar dan tidak dapat dibalikkan secara global," menurut IPCC.
"Tak dapat dibalikkan" dapat berarti, misalnya, mencairnya lapisan es Greenland yang sangat luas yang dapat menenggelamkan wilayah-wilayah pesisir dan kota atau gangguan terhadap musim monsoon yang vital bagi pembuatan makanan.
"Biaya tidak melakukan apa-apa akan sangat besar dibandingkan jika kita beraksi," ujar Pachauri.
Pengurangan emisi besar-besaran dapat menurunkan pertumbuhan global untuk konsumsi barang dan jasa, faktor ekonomi yang digunakan oleh IPCC, dengan hanya 0,06 poin persentase per tahun di bawah pertumbuhan tahunan yang diproyeksikan sebesar 1,6 sampai 3 persen, menurut laporan tersebut.
Sejauh ini, penghasil emisi terbesar masih belum mengendalikan emisi dalam skala yang ditentukan IPCC. China, Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah penghasil emisi terbesar.
Kelompok-kelompok lingkungan hidup menyambut baik laporan tersebut, termasuk fokusnya pada emisi nol.
Laporan itu juga mengatakan bahwa setidaknya 95 persen yakin emisi buatan manusia dari gas-gas rumah kaca, bukannya variasi-variasi alami iklim, adalah sebab utama pemanasan sejak 1950, naik dari 90 persen dalam penilaian sebelumnya pada 2007. (Reuters)