PBB merilis sebuah laporan pada hari Rabu (16/9) mengatakan Sri Lanka tidak bisa mengandalkan sistem peradilan sendiri dan harus menggunakan pengadilan khusus untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama 26 tahun perang saudara di negara itu.
Rekomendasi tersebut merupakan bagian dari laporan tentang apa yang disebut oleh kantor HAM PBB sebagai kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama konflik antara pasukan pemerintah melawan pemberontak yang menginginkan kemerdekaan bagi bangsa minoritas Tamil. Pertempuran itu, menurut perkiraan umum, menewaskan hingga 100.000 orang.
Sri Lanka, menurut laporan itu, harus melihat bagaimana cara negara-negara lain menggunakan hakim, jaksa, pengacara dan penyidik internasional.
“Prosedur pengadilan dalam negeri tidak berpeluang menemukan jawaban atas kecurigaan-kecurigaan luas dan dapat dibenarkan, yang diakibatkan puluhan tahun pelanggaran, malpraktek dan janji-janji yang dilanggar,” kata kepala urusan HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein.
Beberapa kendala yang tersisa
Laporan itu memuji pemerintah baru Sri Lanka atas komitmen mereka untuk menegakkan akuntabilitas, tetapi juga merinci beberapa kendala seperti kurangnya sistem yang dapat dipercaya dalam melindungi para korban dan saksi.
"Pasukan keamanan, polisi dan intelijen telah menikmati impunitas yang nyaris total dan tidak mengalami perampingan signifikan atau reformasi sejak konflik bersenjata," kata laporan itu. "Militer mempertahankan kehadiran mereka dengan menindas di daerah yang terkena dampak perang di wilayah utara dan timur, masih menduduki tanah pribadi yang luas, memperluas (pengaruh mereka) ke dalam kegiatan ekonomi, dan mempertahankan budaya pengawasan dan pelecehan terhadap penduduk lokal dan masyarakat sipil."
Reuters mengutip pernyataan Kementerian Luar Negeri Sri Lanka bahwa pemerintah "akan memastikan dialog dan konsultasi yang luas dengan semua pemangku kepentingan" sementara secara bersamaan menempatkan langkah-langkah untuk memastikan keadilan dan mencapai rekonsiliasi dan perdamaian.
Pemimpin pemerintahan sebelumnya, Mahinda Rajapaska, menolak penyelidikan internasional atas dugaan kemungkinan kejahatan perang selama konflik. Sebuah laporan PBB sebelumnya memperkirakan setidaknya 40.000 orang meninggal selama bulan-bulan terakhir perang pada awal 2009, dan bahwa sebagian besar dari mereka korban berada di pihak Tamil.
Tuduhan kejahatan perang
Laporan Rabu (16/9) mengatakan tampaknya ada bukti yang cukup dari pembunuhan yang dilakukan oleh para pejuang Tamil. Penyelidikan PBB juga mendokumentasikan apa yang disebut dalam laporan tersebut "penggunaan brutal penyiksaan" oleh pasukan Sri Lanka, terutama setelah konflik ketika mantan pejuang Tamil dan warga sipil "ditahan secara massal."
Laporan itu mengatakan ada alasan untuk percaya bahwa pasukan pemerintah melakukan penangkapan sewenang-wenang dan pemerkosaan yang luas. PBB juga percaya pasukan Sri Lanka dan pejuang paramiliter pro-pemerintah secara sewenang-wenang terlibat dalam pembunuhan warga sipil, politisi terutama Tamil, para pekerja kemanusiaan dan wartawan.
Para pejuang Tamil, kata laporan itu, menunjukkan pola penculikan dan perekrutan paksa serta perekrutan pejuang anak, yang keduanya dipercepat menjelang akhir konflik. Laporan itu juga menyatakan bahwa ada alasan untuk percaya bahwa para pejuang Tamil membunuh warga Tamil, Muslim dan warga sipil Sinhala yang tidak mendukung kelompok mereka, dan menempatkan benteng militer di dekat daerah warga sipil yang menempatkan mereka dalam keadaan bahaya.