Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam jumpa pers, Kamis (3/12), menjelaskan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1 Desember mengesahkan sebuah resolusi mengenai keamanan anak buah kapal (ABK).
Resolusi yang digagas oleh Indonesia tersebut disponsori oleh 71 negara, termasuk Amerika Serikat, Rusia, Jerman, dan Australia. Menurut Retno, ini merupakan resolusi pertama Majelis Umum PBB tentang keamanan ABK dan pengelolaan arus barang secara global.
"Beberapa hal penting yang diangkat oleh resolusi tersebut antara lain menetapkan pelaut sebagai pekerja sektor penting. Meminta pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan terkait untuk memastikan pelaksanaan protokol keselamatan bagi pelaut, termasuk dalam hal pergantian kru, fasilitasi perjalanan, repatriasi, dan akses terhadap layanan kesehatan," kata Retno.
Retno menambahkan pengesahan resolusi PBB mengenai keamanan ABK itu merupakan bagian dari langkah strategis yang diambil pemerintah untuk melindungi semua ABK dari Indonesia. Selain perlindungan ABK, inisiatif Indonesia di PBB tersebut sejalan dengan upaya untuk meningkatkan perdagangan internasional dan kelancaran transportasi laut, terutama di masa pandemi.
Menurutnya resolusi PBB tentang keamanan ABK dan suplai barang global itu memiliki makna penting bagi Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar, dan banyak warga Indonesia yang bekerja sebagai ABK.
Indonesia saat ini adalah negara ketiga yang memiliki ABK terbanyak di dunia setelah China dan Filipina. Berdasarkan data UNCTAD (Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan), ada sekitar dua juta orang Indonesia yang bekerja di lebih dari 980 ribu kapal komersial dan mengangkut lebih dari sebelas miliar ton produk perdagangan global.
Saat ini, sektor perkapalan mengangkut 80 persen produk perdagangan dunia dan memainkan peran penting dalam menghadapi tantangan Covid-19, khususnya dalam mengangkut obat-obatan, alat kesehatan, makanan, dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Retno menegaskan Indonesia akan terus berupaya memastikan isu ini dapat menjadi perhatian di beragam forum multilateral sesuai kepentingan nasional Indonesia.
Menanggapi resolusi PBB tentang keamanan ABK itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menilainya sebagai sesuatu yang positif. Apalagi di masa pandemi Covid-19, banyak ABK Indonesia yang terjebak di luar negeri dan tidak bisa pulang.
Abdi mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki sektor hulu di dalam negeri dalam proses pengiriman ABK ke luar negeri untuk mencegah pengiriman para pelaut secara ilegal ke luar negeri.
"Pemerintah jangan melupakan upaya pembenahan yang terjadi di hulu. Misalnya hal-hal yang terkait dengan bagaimana ABK itu direkrut, bagaimana kompetensi dan sertifikasi mereka bisa dipenuhi, bagaimana legalitas lembaga yang mererut ABK tersebut, bagaimana sistem penggajian mereka, dan satu hal yang paling penting adalah harmonisasi regulasi pelaut atau awak perikanan migran," ujar Abdi.
Abdi meminta pemerintah memastikan agar semua perusahaan perekrut ABK memiliki izin dan melakukan perekrutan melalui jalur yang sah. Perusahaan perekrut, katanya, juga harus bersikap transparan mengenai berapa gaji yang akan diterima ABK dari perusahaan yang akan mempekerjakannya mereka di luar negeri. [fw/ab]