Pakar hak asasi manusia PBB mengatakan mega-proyek pariwisata Mandalika di Nusa Tenggara Barat telah menggusur penduduk lokal dan pribumi, dan menghancurkan rumah, ladang, sungai, dan situs keagamaan di daerah tersebut.
Proyek Mandalika meliputi pembangunan sirkuit balap motor Grand Prix, hotel, dan lapangan golf, dan merupakan bagian dari strategi "10 Bali Baru" yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata.
Dalam mengembangkan area seluas 2 hektar itu, "penduduk setempat menjadi sasaran ancaman dan intimidasi, dan diusir secara paksa dari tanah mereka tanpa kompensasi,” kata Olivier De Schutter, pelapor khusus PBB tentang kemiskinan ekstrem dan hak asasi manusia.
Sejumlah bisnis dan Bank Investasi Infrastruktur Asia (the Asian Infrastructure Investment Bank/AIIB) yang mendanai proyek yang masih dalam taraf pembangunan itu, gagal melakukan uji kelayakan "untuk mengidentifikasi, mencegah, memitigasi dan mempertanggungjawabkan bagaimana mereka mengatasi dampak buruk hak asasi manusia,” katanya dalam sebuah pernyataan, sebagaimana dilansir dari Reuters, Jumat (2/4).
AIIB mengatakan operasinya mematuhi pedoman lingkungan dan sosial, dan telah menanggapi "dengan cepat" keluhan terkait proyek. Lembaga tersebut telah menugaskan konsultan independen untuk terlibat dengan pemerintah Indonesia, bisnis dan penduduk setempat.
"Laporan akhir tidak menemukan bukti dugaan pemaksaan, penggunaan kekerasan langsung, dan intimidasi terkait dengan pembebasan tanah dan pemukiman kembali," katanya dalam sebuah pernyataan Kamis (1/4) malam.
AIIB dan BUMN PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC) telah menyepakati rencana "untuk meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan, dengan orang-orang yang terkena dampak proyek, kepala desa dan pejabat pemerintah daerah, dan lebih luas lagi dengan masyarakat sipil dan masyarakat Lombok yang lebih luas,” tambahnya.
ITDC dan Asosiasi Grand Prix Mandalika, yang keduanya terlibat dalam pengembangan Mandalika, tidak menanggapi permintaan komentar.
Secara global, ada peningkatan kesadaran masyarakat terkait dampak negatif dari pariwisata, termasuk kerusakan lingkungan dan kehancuran wilayah, sementara penduduk setempat terpaksa pindah karena tak mampu membayar biaya hidup yang semakin mahal.
Dalam laporan Badan amal Inggris The Travel Foundation tahun 2019, disebutkan negara-negara miskin di Asia Tenggara sangat tidak siap untuk membatasi "beban tak terlihat" dari overtourisme atau fenomena kepadatan turis.
Setelah pandemi virus corona menghancurkan ekonomi pulau-pulau yang bergantung pada pariwisata, seperti Bali dan Phuket di Thailand, pihak berwenang memprioritaskan pekerja industri pariwisata untuk mendapatkan vaksinasi guna menarik wisatawan asing. Langkah tersebut dikritik kelompok hak asasi manusia.
Mandalika disebut-sebut oleh pihak berwenang sebagai hal penting dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan mata pencaharian di NTB. Namun aktivis hak asasi manusia mengatakan proyek tersebut - seperti banyak pembangunan pariwisata lainnya - telah merugikan masyarakat adat.
“Masyarakat adat tidak memiliki perlindungan hukum atas tanah mereka dan tidak diajak berkonsultasi atau dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang proyek-proyek yang tidak menguntungkan mereka,” kata Rukka Sombolinggi, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
"Pemerintah ingin menarik investor di industri, pertambangan dan pariwisata untuk menghidupkan kembali ekonomi, tetapi ini adalah solusi palsu yang merugikan masyarakat adat, dan juga memiliki dampak lingkungan yang besar," katanya kepada Thomson Reuters Foundation.
De Schutter mengatakan pembangunan Mandalika "menginjak-injak hak asasi manusia (dan) secara fundamental tidak sesuai" dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
“Sekarang sudah bukan waktunya untuk melakukan proyek infrastruktur pariwisata transnasional besar-besaran yang hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi, bukan penduduk secara keseluruhan,” tambahnya.
Sebaliknya, pemerintah yang ingin membangun kembali pasca COVID-19 "harus fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal", meningkatkan mata pencaharian, dan memungkinkan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan, katanya. [ah/vm/ft]