JAKARTA —
Dalam dua minggu terakhir ini harga daging sapi di pasar mencapai sekitar Rp 150.000 per kilogram, atau naik lebih dari 100 persen dari Rp 60.000 sampai Rp 70.000 per kilogram.
Tingginya harga daging sapi ini dikeluhkan Jajang, pedagang daging sapi di sebuah pasar tradisional di Jakarta Selatan, yang mendapati jumlah pembeli menurun hingga 50 persen.
“Harga yang paling tinggi selama ini ini melebihi harga Lebaran. Pasokan dari importirnya dikurangi dengan alasan stok sapi menipis,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Importir Daging seluruh Indonesia, Thomas Sembiring, mengatakan harga daging sapi tinggi karena stok terbatas akibat produksi daging di dalam negeri tidak sesuai kebutuhan konsumen. Ia menyayangkan pemerintah yang membatasi impor daging.
“Pemerintah terlalu berambisi mencapai swasembada daging, kelihatannya apapun dia tempuh. Sekarang apa peduli pemerintah? Mungkin dia pikir dengan harga tinggi orang tidak sanggup beli, permintaan daging turun, tercapai swasembada,” ujarnya.
Menurut Indro Surono dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, persoalan pangan nasional terus muncul termasuk persedian daging sapi karena produksi dan kebutuhan tidak pernah seimbang. Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, menurutnya, persoalan pangan akan tetap terjadi dan berpengaruh negatif terhadap tingginya inflasi.
“Dari dulu produksi daging kita kan lebih kecil dari pada konsumsi. Yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia khususnya menjelang hari-hari besar kalo sekarang misalnya menjelang Natal dan Tahun Baru, menjelang hari-hari besar itu pasti ada lonjakan kebutuhan daging. Meskipun ada langkah-langkah yang tengah diupayakan oleh Kementerian Pertanian di mana mereka menargetkan swasembada daging sapi pada 2014,” ujar Indro.
Ia tidak sependapat jika pemerintah dinilai terlampau berambisi dalam mengejar target swasembada pangan termasuk daging sapi. Ia menegaskan dengan kekayaan berbagai sumber daya di dalam negeri, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengejar target swasemada sehingga tidak terus bergantung pada impor.
“Tetapi program [swasembada] itu juga harus diikuti oleh komitmen semua pihak, tidak hanya pemerintah tapi bagaimana pemerintah juga meregulasi para pelaku-pelaku perdagangan terutama ekspor impor pangan. Karena kadang-kadang persoalan pangan kita itu kan bukan persoalan tidak ada pangan, tapi persoalannya ada dalam proses distribusinya,”
Sejak September lalu pemeritah menghentikan impor daging sapi untuk tahun ini karena sudah mencapai kuota yaitu sebesar 35 ribu ton, dan pemerintah menegaskan tidak akan menambah kuota impor daging sapi hingga akhir tahun.
Secara bertahap pemerintah berupaya mengurangi impor daging sapi. Tahun lalu pemerintah masih mengimpor sebesar 120 ribu ton. Kebutuhan daging sapi tahun ini diperkirakan mencapai 484 ribu ton dan pemerintah optimistis kebutuhan daging sapi dapat dipenuhi oleh daging sapi lokal.
Dua negara pengekspor daging terbesar untuk Indonesia adalah Australia dan Selandia Baru. Sementara impor daging sapi dari Amerika sejak Mei lalu dibatasi karena pemerintah Indonesia khawatir daging sapi asal Amerika terkena penyakit sapi gila.
Tingginya harga daging sapi ini dikeluhkan Jajang, pedagang daging sapi di sebuah pasar tradisional di Jakarta Selatan, yang mendapati jumlah pembeli menurun hingga 50 persen.
“Harga yang paling tinggi selama ini ini melebihi harga Lebaran. Pasokan dari importirnya dikurangi dengan alasan stok sapi menipis,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Importir Daging seluruh Indonesia, Thomas Sembiring, mengatakan harga daging sapi tinggi karena stok terbatas akibat produksi daging di dalam negeri tidak sesuai kebutuhan konsumen. Ia menyayangkan pemerintah yang membatasi impor daging.
“Pemerintah terlalu berambisi mencapai swasembada daging, kelihatannya apapun dia tempuh. Sekarang apa peduli pemerintah? Mungkin dia pikir dengan harga tinggi orang tidak sanggup beli, permintaan daging turun, tercapai swasembada,” ujarnya.
Menurut Indro Surono dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, persoalan pangan nasional terus muncul termasuk persedian daging sapi karena produksi dan kebutuhan tidak pernah seimbang. Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, menurutnya, persoalan pangan akan tetap terjadi dan berpengaruh negatif terhadap tingginya inflasi.
“Dari dulu produksi daging kita kan lebih kecil dari pada konsumsi. Yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia khususnya menjelang hari-hari besar kalo sekarang misalnya menjelang Natal dan Tahun Baru, menjelang hari-hari besar itu pasti ada lonjakan kebutuhan daging. Meskipun ada langkah-langkah yang tengah diupayakan oleh Kementerian Pertanian di mana mereka menargetkan swasembada daging sapi pada 2014,” ujar Indro.
Ia tidak sependapat jika pemerintah dinilai terlampau berambisi dalam mengejar target swasembada pangan termasuk daging sapi. Ia menegaskan dengan kekayaan berbagai sumber daya di dalam negeri, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengejar target swasemada sehingga tidak terus bergantung pada impor.
“Tetapi program [swasembada] itu juga harus diikuti oleh komitmen semua pihak, tidak hanya pemerintah tapi bagaimana pemerintah juga meregulasi para pelaku-pelaku perdagangan terutama ekspor impor pangan. Karena kadang-kadang persoalan pangan kita itu kan bukan persoalan tidak ada pangan, tapi persoalannya ada dalam proses distribusinya,”
Sejak September lalu pemeritah menghentikan impor daging sapi untuk tahun ini karena sudah mencapai kuota yaitu sebesar 35 ribu ton, dan pemerintah menegaskan tidak akan menambah kuota impor daging sapi hingga akhir tahun.
Secara bertahap pemerintah berupaya mengurangi impor daging sapi. Tahun lalu pemerintah masih mengimpor sebesar 120 ribu ton. Kebutuhan daging sapi tahun ini diperkirakan mencapai 484 ribu ton dan pemerintah optimistis kebutuhan daging sapi dapat dipenuhi oleh daging sapi lokal.
Dua negara pengekspor daging terbesar untuk Indonesia adalah Australia dan Selandia Baru. Sementara impor daging sapi dari Amerika sejak Mei lalu dibatasi karena pemerintah Indonesia khawatir daging sapi asal Amerika terkena penyakit sapi gila.