Faksi Palestina, Hamas dan Fatah, menandatangani sebuah deklarasi di Beijing untuk mengakhiri keretakan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, kata kedua kelompok pada Selasa (23/7), mengambil langkah maju untuk menyelesaikan perpecahan mendalam selama bertahun-tahun meski telah berulang kali berusaha dipersatukan.
Dua kelompok penting dalam politik Palestina itu menandatangani Deklarasi Beijing untuk “mengakhiri perpecahan dan memperkuat persatuan Palestina,” menurut media penyiaran pemerintah China CCTV, dan berjanji untuk membentuk sebuah pemerintahan persatuan untuk wilayah Palestina.
Pejabat tinggi Hamas Moussa Abu Marzouk mengatakan,“Ini adalah momen-momen bersejarah. Kami meminta Allah menolong kami menerapkan apa yang kami tandatangani, dan agar perjanjian ini tidak seperti perjanjian yang kami tandatangani sebelumnya, yang tidak menciptakan dampak di masa depan. Kami ingin adanya implementasi yang jujur atas semua yang kami tandatangani agar kami dapat melanjutkan perjalanan kami memerdekakan tanah air kami. Serta membangun negara independen dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.”
Beberapa perjanjian serupa di masa lalu menemui kegagalan, salah satunya yang tercapai pada 2011, sehingga hasil negosiasi yang didukung China itu diragukan akan menghasilkan resolusi nyata.
Deklarasi itu dibuat pada saat yang sensitif, ketika perang di Gaza memasuki bulan ke-10, dan Israel serta Hamas sedang mempertimbangkan proposal gencatan senjata yang disokong komunitas internasional, yang dapat menghentikan perang dan membebaskan puluhan sandera Israel yang masih ditahan Hamas.
Pertanyaan mengenai persatuan politik Palestina dapat memperumit rencana struktur kepemimpinan pascaperang di Gaza, yang menjadi salah satu isu paling pelik dalam perundingan perdamaian yang sedang berlangsung.
Hamas memenangkan pemilu legislatif di Gaza pada 2006 dan kemudian menguasai wilayah itu pada tahun berikutnya melalui pengambilalihan dengan kekerasan.
Masa depan Gaza usai perang masih belum diketahui. Israel dengan kuat menentang adanya peran Hamas dalam pemerintahan Gaza setelah perang berakhir.
Israel juga menolak seruan AS agar Otoritas Palestina yang didominasi Fatah memerintah Gaza pascaperang.
Sejak perang kembali pecah di Gaza 10 bulan lalu, pejabat Hamas telah mengatakan bahwa partainya tidak ingin kembali memerintah Gaza seperti sebelum konflik. Kelompok itu menyerukan pembentukan pemerintahan berisi para teknokrat yang disepakati oleh faksi-faksi di Palestina, yang akan mempersiapkan pemilihan umum, baik di Gaza maupun Tepi Barat, dengan tujuan membentuk pemerintahan persatuan.
Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, dengan segera menolak perjanjian di Beijing hari Selasa, sambil menyatakan bahwa tidak akan ada pemerintahan gabungan antara Hamas dan Fatah di Gaza, “karena pemerintahan Hamas akan ditumpas.”
Kedua kelompok Palestina yang bersaing itu, bersama 12 faksi politik lainnya, bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, menyelesaikan perundingan yang dimulai sejak Minggu (21/7), menurut unggahan media televisi China, CGTN, di platform media sosial Weibo.
“Republik Rakyat China memiliki tempat yang sangat istimewa di dalam hati dan benak warga Palestina, baik anak-anak, perempuan maupun laki-laki. Republik Rakyat China memainkan perannya dan memberikan dukungan sepanjang perjuangan rakyat Palestina dan melalui ini semua selama bertahun-tahun,” tutur Mahmoud al-Aloul, perwakilan Fatah.
Pernyataan bersama yang disampaikan usai pertemuan di Beijing tidak membeberkan rincian cara maupun waktu pembentukan pemerintahan, dengan alasan bahwa hal itu hanya akan terlaksana “sepersetujuan faksi-faksi yang ada.”
Menurut pernyataan bersama tersebut, kedua kelompok berkomitmen membentuk negara Palestina di atas lahan yang direbut Israel dalam perang Timur Tengah pada 1967. [rd/jm]
Forum