Dengan tong-tong tembaga besar dan nyala api, generasi demi generasi pengusaha kecil di perkebunan-perkebunan kelapa di Filipina membuat minuman vodka Rusia versi lokal.
Suatu waktu dikenal sebagai minuman kelas bawah dengan kadar alkohol tinggi, “lambanog” merupakan versi Filipina untuk arak kelapa yang juga dibuat di Sri Lanka dan Indonesia.
“Banyak yang membandingkannya dengan vodka Rusia atau gin Inggris, namun yang membedakan lambanog adalah minuman ini tidak membuat Anda pusing (hangover),” ujar Isabelita Capistrano, 65, pengusaha penyulingan minuman tersebut.
Perusahaan keluarga Capistrano Distillery di daerah yang kaya kelapa di Tayabas merupakan dua produsen lambanog paling besar di Filipina, yang menjual minuman tersebut ke jaringan-jaringan supermarket terbesar di negara tersebut.
“Minuman ini sangat keras. Para turis Jepang dan Korea Selatan terutama menyukainya. Orang Amerika menganggapnya terlalu keras, namun halus,” ujar mantan guru sekolah menengah tersebut.
Namun tantangan meminumnya bukan apa-apa dibandingkan upaya berisiko tinggi yang bisa berakibat kematian, bagi mereka yang bertugas memanjat pohon dan mengambil getah kelapa berbusa yang difermentasi untuk menghasilkan minuman tersebut.
“Para pekerja telah jatuh dan meninggal atau patah tulang,” ujar Eugenio Andaya, yang telah memanjat pohon sejak ia remaja.
“Pekerjaan ini sangat sulit tapi saya berdoa saja dan menyerahkan nasib saya pada Tuhan,” ujarnya pada kantor berita AFP dari Tayabas, kota pedesaan sekitar tiga jam perjalanan dari Manila.
Para pekerja memanjat pohon tanpa jaringan pengaman untuk memetik bunga kelapa sebelum berubah menjadi buah. Getahnya diteteskan ke dalam wadah bambu.
Seperti penampil tali di sirkus, para pemburu getah ini bergerak di jaringan jembatan bambu yang menghubungkan pepohonan dan berjarak 9 meter dari atas tanah, dengan pisau di pinggang dan kantung-kantung diikat kuat di bahu.
Getah yang didapat difermentasi menjadi anggur lokal atau ‘tuba,’ yang kemudian disuling lebih lanjut untuk menghasilkan ‘lambanog’ yang jernih, dengan metanol sebagai produk sampingan.
Capistrano mengatakan proses penyulingannya sama dengan yang dilakukan di Tayabas pada awal abad 19. Didirikan oleh Spanyol pada 1580an sebagai upaya penyebaran agama Kristen, Tayabas terletak di bawah Gunung Banahaw, tempat spiritual dan para dukun tinggal.
Menurut dongeng setempat, produksi penyulingan pertama dilakukan oleh seorang tentara Spanyol bernama Alandy.
Merek Alandy sekarang dipegang oleh Mallari Distillery, yang pemiliknya merupakan keturunan tentara tersebut dan masih memegang resep asli minuman tersebut, yang berarti mengandung 45 persen alkohol.
Sementara itu, keluarga Capistrano mengatakan mereka sudah mulai mempromosikan minuman tersebut di luar negeri.
Lambanog sendiri tetap merupakan minuman murah dan populer di seluruh Filipina. Namun data resmi mengenai pendapatan yang dihasilkan secara domestik tidak jelas, karena rata-rata penjual kecil tidak membayar atau melaporkan pajak.
Pada 2001, pemerintah mendekati rumah-rumah produksi Mallari dan Capistrano serta 14 penyuling lambanog yang lebih kecil dengan rencana pengembangan produk untuk ekspor.
Pemerintah menyediakan keahlian pengemasan, memperkenalkan operasi pembotolan modern dan mensponsori tur penyicipan alkohol bagi pembeli dari luar negeri.
Departemen Perdagangan mengatakan minuman tersebut pelan-pelan menembus pasar-pasar minuman di Australia, Jepang dan Makau, meski data resmi tidak ada.
Produk ini mendapat saingan khususnya dari Sri Lanka, yang menargetkan Jepang, Korea Selatan dan Maladewa dengan campuran yang lebih berkualitas.
Produk Capistrano yang terlaris adalah lambanog dengan campuran buah beri hitam lokal atau ‘liputi’, dengan rasa sedikit manis dan tajam.
“Kami ingin dunia tahu bahwa lambanog adalah minuman keras resmi Filipina,” ujarnya. (AFP/Jason Gutierrez)
Suatu waktu dikenal sebagai minuman kelas bawah dengan kadar alkohol tinggi, “lambanog” merupakan versi Filipina untuk arak kelapa yang juga dibuat di Sri Lanka dan Indonesia.
“Banyak yang membandingkannya dengan vodka Rusia atau gin Inggris, namun yang membedakan lambanog adalah minuman ini tidak membuat Anda pusing (hangover),” ujar Isabelita Capistrano, 65, pengusaha penyulingan minuman tersebut.
Perusahaan keluarga Capistrano Distillery di daerah yang kaya kelapa di Tayabas merupakan dua produsen lambanog paling besar di Filipina, yang menjual minuman tersebut ke jaringan-jaringan supermarket terbesar di negara tersebut.
“Minuman ini sangat keras. Para turis Jepang dan Korea Selatan terutama menyukainya. Orang Amerika menganggapnya terlalu keras, namun halus,” ujar mantan guru sekolah menengah tersebut.
Namun tantangan meminumnya bukan apa-apa dibandingkan upaya berisiko tinggi yang bisa berakibat kematian, bagi mereka yang bertugas memanjat pohon dan mengambil getah kelapa berbusa yang difermentasi untuk menghasilkan minuman tersebut.
“Para pekerja telah jatuh dan meninggal atau patah tulang,” ujar Eugenio Andaya, yang telah memanjat pohon sejak ia remaja.
“Pekerjaan ini sangat sulit tapi saya berdoa saja dan menyerahkan nasib saya pada Tuhan,” ujarnya pada kantor berita AFP dari Tayabas, kota pedesaan sekitar tiga jam perjalanan dari Manila.
Para pekerja memanjat pohon tanpa jaringan pengaman untuk memetik bunga kelapa sebelum berubah menjadi buah. Getahnya diteteskan ke dalam wadah bambu.
Seperti penampil tali di sirkus, para pemburu getah ini bergerak di jaringan jembatan bambu yang menghubungkan pepohonan dan berjarak 9 meter dari atas tanah, dengan pisau di pinggang dan kantung-kantung diikat kuat di bahu.
Getah yang didapat difermentasi menjadi anggur lokal atau ‘tuba,’ yang kemudian disuling lebih lanjut untuk menghasilkan ‘lambanog’ yang jernih, dengan metanol sebagai produk sampingan.
Capistrano mengatakan proses penyulingannya sama dengan yang dilakukan di Tayabas pada awal abad 19. Didirikan oleh Spanyol pada 1580an sebagai upaya penyebaran agama Kristen, Tayabas terletak di bawah Gunung Banahaw, tempat spiritual dan para dukun tinggal.
Menurut dongeng setempat, produksi penyulingan pertama dilakukan oleh seorang tentara Spanyol bernama Alandy.
Merek Alandy sekarang dipegang oleh Mallari Distillery, yang pemiliknya merupakan keturunan tentara tersebut dan masih memegang resep asli minuman tersebut, yang berarti mengandung 45 persen alkohol.
Sementara itu, keluarga Capistrano mengatakan mereka sudah mulai mempromosikan minuman tersebut di luar negeri.
Lambanog sendiri tetap merupakan minuman murah dan populer di seluruh Filipina. Namun data resmi mengenai pendapatan yang dihasilkan secara domestik tidak jelas, karena rata-rata penjual kecil tidak membayar atau melaporkan pajak.
Pada 2001, pemerintah mendekati rumah-rumah produksi Mallari dan Capistrano serta 14 penyuling lambanog yang lebih kecil dengan rencana pengembangan produk untuk ekspor.
Pemerintah menyediakan keahlian pengemasan, memperkenalkan operasi pembotolan modern dan mensponsori tur penyicipan alkohol bagi pembeli dari luar negeri.
Departemen Perdagangan mengatakan minuman tersebut pelan-pelan menembus pasar-pasar minuman di Australia, Jepang dan Makau, meski data resmi tidak ada.
Produk ini mendapat saingan khususnya dari Sri Lanka, yang menargetkan Jepang, Korea Selatan dan Maladewa dengan campuran yang lebih berkualitas.
Produk Capistrano yang terlaris adalah lambanog dengan campuran buah beri hitam lokal atau ‘liputi’, dengan rasa sedikit manis dan tajam.
“Kami ingin dunia tahu bahwa lambanog adalah minuman keras resmi Filipina,” ujarnya. (AFP/Jason Gutierrez)