MANILA —
Dua puluh enam tahun sejak para pemimpin Gereja Katolik Roma membantu ibunya mengumpulkan jutaan orang Filipina dalam demonstrasi yang menggulingkan diktator, Presiden Benigno Aquino III melawan gereja dalam isu kontrasepsi dan memenangkannya. Hal tersebut mengubah mimpi buruk para uskup menjadi kenyataan: Mereka tidak lagi dapat mempengaruhi massa.
Bulan lalu Presiden Aquino menandatangani Undang-Undang Orangtua Bertanggungjawab dan Kesehatan Reproduksi 2012 secara diam-diam dan tanpa jabatan tangan serta pemotretan untuk menghindari kontroversi.
Undang-undang yang mengalokasikan anggaran bagi negara untuk menyediakan kontrasepsi bagi warga miskin membuat Gereja Katolik yang dominan berseteru dengan Aquino yang populer dan pengikutnya.
Beberapa petisi dan protes terhadap UU tersebut muncul, namun tidak ada yang menyangkal bahwa persetujuan Aquino terhadap legislasi tersebut telah memotong pengaruh gereja terhadap masyarakat Filipina, dan menandai berlalunya era yang menabukan perlawanan terhadap gereja dan pendeta.
Para pemimpin Katolik menganggap peraturan tersebut serangan pada nilai-nilai utama gereja, kesucian hidup, dengan mengatakan bahwa kontrasepsi mendorong gaya hidup bebas dan menghancurkan kehidupan.
Aquino dan para pendukungnya melihat peraturan tersebut sebagai cara untuk membantu warga miskin, sekitar sepertiga dari 94 juta penduduk, mengatur jumlah anak dan membiayai mereka. Hampir setengah dari kehamilan di Filipina tidak diinginkan, menurut Dana PBB untuk Kependudukan (UNFPA), dan sepertiganya digugurkan, sesuatu yang ilegal di negara tersebut.
Tingginya tingkat kemiskinan, maraknya permukiman kumuh dan meningkatnya tuna wisma dan kejahatan merupakan kekhawatiran utama yang tidak dapat diatasi oleh gereja maupun pendahulu Aquino.
“Jika gereja dapat menyediakan susu, popok dan beras, mari kita terus punya anak,” ujar Giselle Labadan, 30, pedagang pinggir jalan.
“Tapi ada terlalu banyak orang sekarang, terlalu banyak tuna wisma, dan gereja tidak membantu memberi makan mereka.”
Labadan mengatakan keluarganya takut akan Tuhan tapi ia menentang posisi gereja terhadap kontrasepsi dalam lebih dari 10 tahun karena lima anaknya, umur dua sampai 12 tahun, sudah terlalu banyak untuk bisa dibiayai penghasilannya yang rendah. Suaminya yang mantan tentara tidak punya pekerjaan.
Meski menggunakan kontrasepsi, ia merasa masih beragama.
“Saya masih pergi ke gereja dan berdoa. Itu bagian hidup saya,” ujar Labadan.
“Sebelumnya saya berdoa supaya tidak punya anak lagi. Tapi kondom bekerja lebih baik.”
Undang-undang tersebut sekarang menghadapi tantangan hukum di Mahkamah Agung setelah dua orang menentangnya. Namun pihak pemerintah tidak khawatir, mengatakan bahwa undang-undang tersebut konstitusional dan tahan tantangan.
Otoritas moral dan politik gereja dianggap memudar dengan meninggalnya salah satu tokohnya, yaitu Kardinal Jaime Sin. Ialah yang membentuk peran gereja selama masa tergelap negara tersebut setelah diktator Ferdinand Marcos menetapkan hukum militer mulai 1972, dengan mendorong advokasi sipil, hak asasi manusia dan kebebasan. Tindakan Sin mencerminkan pendukung terkuatnya, Paus Yohanes Paulus II, yang melawan kekuasaan komunis di Eropa Timur.
Sin juga yang mendorong Corazon Aquino untuk mencalonkan diri menjadi presiden, dan memerintahkan jutaan orang pada 1986 untuk mendukung Corazon, seorang perempuan yang sangat religius.
Beberapa pemerintahan terakhir tidak terlalu dekat dengan gereja.
Kekalahan terakhir dengan adanya UU kontrasepsi ini “dapat memperburuk otoritas moral gereja pada waktu ia sangat dibutuhkan di banyak wilayah, termasuk pertahanan nilai-nilai keluarga,” ujar pendeta Jesuit, John J. Carroll, dari Institut Gereja dan Isu Sosial John J. Carroll.
“Orang-orang sekarang lebih praktis,” ujar Labadan, sang pedagang. “Dulu, orang-orang takut dunia kiamat jika menentang gereja.”
Bulan lalu Presiden Aquino menandatangani Undang-Undang Orangtua Bertanggungjawab dan Kesehatan Reproduksi 2012 secara diam-diam dan tanpa jabatan tangan serta pemotretan untuk menghindari kontroversi.
Undang-undang yang mengalokasikan anggaran bagi negara untuk menyediakan kontrasepsi bagi warga miskin membuat Gereja Katolik yang dominan berseteru dengan Aquino yang populer dan pengikutnya.
Beberapa petisi dan protes terhadap UU tersebut muncul, namun tidak ada yang menyangkal bahwa persetujuan Aquino terhadap legislasi tersebut telah memotong pengaruh gereja terhadap masyarakat Filipina, dan menandai berlalunya era yang menabukan perlawanan terhadap gereja dan pendeta.
Para pemimpin Katolik menganggap peraturan tersebut serangan pada nilai-nilai utama gereja, kesucian hidup, dengan mengatakan bahwa kontrasepsi mendorong gaya hidup bebas dan menghancurkan kehidupan.
Aquino dan para pendukungnya melihat peraturan tersebut sebagai cara untuk membantu warga miskin, sekitar sepertiga dari 94 juta penduduk, mengatur jumlah anak dan membiayai mereka. Hampir setengah dari kehamilan di Filipina tidak diinginkan, menurut Dana PBB untuk Kependudukan (UNFPA), dan sepertiganya digugurkan, sesuatu yang ilegal di negara tersebut.
Tingginya tingkat kemiskinan, maraknya permukiman kumuh dan meningkatnya tuna wisma dan kejahatan merupakan kekhawatiran utama yang tidak dapat diatasi oleh gereja maupun pendahulu Aquino.
“Jika gereja dapat menyediakan susu, popok dan beras, mari kita terus punya anak,” ujar Giselle Labadan, 30, pedagang pinggir jalan.
“Tapi ada terlalu banyak orang sekarang, terlalu banyak tuna wisma, dan gereja tidak membantu memberi makan mereka.”
Labadan mengatakan keluarganya takut akan Tuhan tapi ia menentang posisi gereja terhadap kontrasepsi dalam lebih dari 10 tahun karena lima anaknya, umur dua sampai 12 tahun, sudah terlalu banyak untuk bisa dibiayai penghasilannya yang rendah. Suaminya yang mantan tentara tidak punya pekerjaan.
Meski menggunakan kontrasepsi, ia merasa masih beragama.
“Saya masih pergi ke gereja dan berdoa. Itu bagian hidup saya,” ujar Labadan.
“Sebelumnya saya berdoa supaya tidak punya anak lagi. Tapi kondom bekerja lebih baik.”
Undang-undang tersebut sekarang menghadapi tantangan hukum di Mahkamah Agung setelah dua orang menentangnya. Namun pihak pemerintah tidak khawatir, mengatakan bahwa undang-undang tersebut konstitusional dan tahan tantangan.
Otoritas moral dan politik gereja dianggap memudar dengan meninggalnya salah satu tokohnya, yaitu Kardinal Jaime Sin. Ialah yang membentuk peran gereja selama masa tergelap negara tersebut setelah diktator Ferdinand Marcos menetapkan hukum militer mulai 1972, dengan mendorong advokasi sipil, hak asasi manusia dan kebebasan. Tindakan Sin mencerminkan pendukung terkuatnya, Paus Yohanes Paulus II, yang melawan kekuasaan komunis di Eropa Timur.
Sin juga yang mendorong Corazon Aquino untuk mencalonkan diri menjadi presiden, dan memerintahkan jutaan orang pada 1986 untuk mendukung Corazon, seorang perempuan yang sangat religius.
Beberapa pemerintahan terakhir tidak terlalu dekat dengan gereja.
Kekalahan terakhir dengan adanya UU kontrasepsi ini “dapat memperburuk otoritas moral gereja pada waktu ia sangat dibutuhkan di banyak wilayah, termasuk pertahanan nilai-nilai keluarga,” ujar pendeta Jesuit, John J. Carroll, dari Institut Gereja dan Isu Sosial John J. Carroll.
“Orang-orang sekarang lebih praktis,” ujar Labadan, sang pedagang. “Dulu, orang-orang takut dunia kiamat jika menentang gereja.”