TAIPEI —
Puluhan tahun lalu, Taiwan adalah salah satu dari empat negara yang ekonominya tumbuh paling pesat di Asia. Tetapi sejak itu pabrik-pabrik pindah dari Taiwan, dan China menjadi pemimpin dalam pertumbuhan kawasan. Dinamika ini memaksa Taiwan semakin memusatkan perhatian pada pekerja migrannya dari Asia Tenggara untuk mengembalikan ekonomi negara itu pada jalurnya.
Pertumbuhan ekonomi tahunan Taiwan kurang dari empat persen menyebabkannya tertinggal di belakang negara-negara industri di Asia. Sebelum tahun 2000, Taiwan tumbuh dengan cepat, mencapai produk domestik bruto (PDB) US$ 467 miliar karena kontrak-kontrak manufaktur teknologi tinggi menempatkan ekonomi Taiwan pada tingkat yang sama dengan Singapura dan Korea Selatan.
Itu sebelum China menjadi populer untuk barang-barang hasil pabrik yang murah di kawasan itu, yang menyebabkan modal menjauh dari Taiwan dan menghindari perdagangan bebas dengan pemerintah pulau yang bermusuhan dengan China itu. Angka kelahiran di Taiwan juga jatuh dan dengan satu anak untuk satu perempuan, Taiwan merupakan salah satu negara yang angka kelahirannya terendah di dunia, dan merupakan ancaman bagi produktivitas.
Tetapi jumlah penduduk pekerja migran yang meningkat membangkitkan kembali ekonomi Taiwan.
Peter O’Neil, seorang pastor gereja Katolik, yang menjadi penasihat para pekerja migran mengatakan, orang-orang Asia Tenggara bekerja sampai 18 jam per hari tapi mendapat gaji yang lebih sedikit dibanding warga Taiwan.
”Industri-industri merupakan tempat di mana kondisi kerja sangat berbahaya, sangat panas, dan tidak nyaman, karena rakyat Taiwan tidak mau lagi bekerja di sektor perpabrikan seperti itu," ujar O'Neill.
Hampir 450.000 pekerja Asia Tenggara tinggal di Taiwan sekarang, naik dari 270.000 pada 15 tahun lalu. Lebih dari separuhnya berasal dari Indonesia dan selebihnya terutama dari Thailand, Filipina atau Vietnam. Para pekerja migran itu pergi ke Taiwan dengan kontrak-kontrak kerja jangka pendek, dan dibayar dengan upah minimum, berpenghasilan rata-rata cukup pada tahun ketiga untuk mengirim uang kepada keluarganya yang relatif miskin di tanah air mereka.
Pemerintah Taiwan melonggarkan undang-undang perburuhan tahun lalu yang mengizinkan masuknya lebih banyak pekerja. Langkah itu merupakan bagian dari usaha untuk mengembalikan pabrik-pabrik ke Taiwan dari China, di mana mereka telah beroperasi selama hampir 30 tahun.
Tidak ada perkiraan resmi mengenai kontribusi pekerja migran bagi ekonomi Taiwan, tetapi Liu Shao-yin, kepala Catholic Migrant Center, sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk pekerja migran, mengatakan pekerja asing sekarang membuat pabrik-pabrik lokal di Taiwan bertahan.
"Persoalan yang akan dihadapi Taiwan adalah para pemilik pabrik yang pindah dari Taiwan. Mereka akan mencari tempat untuk pabrik-pabrik di China atau negara-negara Asia Tenggara karena upah buruh lebih rendah di wilayah itu," katanya.
Ketergantungan Taiwan yang semakin meningkat terhadap pekerja migran menempatkannya sejajar dengan Hong Kong, Singapura, dan negara-negara lain yang mencari pekerja ke negara-negara tetangga yang lebih miskin.
Para pekerja migran di Taiwan mengisi berbagai lapangan kerja. Orang Filipina mungkin bekerja sebagai insinyur untuk perusahaan-perusahaan teknologi informasi. Para pekerja Thailand bisa didapati melakukan pekerjaan pabrik yang berat, dan orang-orang Asia Tenggara lainnya bekerja pada kapal-kapal nelayan penangkap ikan, pekerjaan yang oleh banyak orang Taiwan dianggap berbahaya.
Banyak dari 100.000 pekerja migran Vietnam yang mengurus manula Taiwan, memungkinkan generasi muda Taiwan yang biasanya mengurus orangtua mereka untuk bekerja.
Pengurus rumah tangga mendapat gaji sekitar $530 per bulan, dan pekerja pabrik berupah $638 per bulan, keduanya di bawah gaji rata-rata orang Taiwan.
Emmanuel Nanocatcat dari Filipina datang ke Taiwan setahun yang lalu untuk mendapat gaji minimum dan uang lembur di sebuah pabrik milik keluarga di Taipei.
“Saat ini ekonomi sedang turun, jadi perubahannya sangat kecil. Namun tetap saja, dibandingkan dengan bekerja di Filipina, gaji lebih bagus di sini," ujarnya.
Beberapa warga Taiwan menganggap pekerja migran sebagai ancaman karena jumlahnya terus meningkat dan gaya hidupnya mempengaruhi masyarakat yang lebih homogen di sana.
Namun pemerintah Taiwan mengharapkan pertumbuhan ekonomi lebih besar tahun ini, dan bank investasi Barclays Capital mengatakan pulau itu menarik investasi asing langsung $5 miliar dalam empat bulan terakhir.
Taipei diperkirakan akan mengizinkan lebih banyak pekerja migran Asia Tenggara untuk tinggal di Taiwan untuk membuat tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat saat ini berkesinambungan.
Pertumbuhan ekonomi tahunan Taiwan kurang dari empat persen menyebabkannya tertinggal di belakang negara-negara industri di Asia. Sebelum tahun 2000, Taiwan tumbuh dengan cepat, mencapai produk domestik bruto (PDB) US$ 467 miliar karena kontrak-kontrak manufaktur teknologi tinggi menempatkan ekonomi Taiwan pada tingkat yang sama dengan Singapura dan Korea Selatan.
Itu sebelum China menjadi populer untuk barang-barang hasil pabrik yang murah di kawasan itu, yang menyebabkan modal menjauh dari Taiwan dan menghindari perdagangan bebas dengan pemerintah pulau yang bermusuhan dengan China itu. Angka kelahiran di Taiwan juga jatuh dan dengan satu anak untuk satu perempuan, Taiwan merupakan salah satu negara yang angka kelahirannya terendah di dunia, dan merupakan ancaman bagi produktivitas.
Tetapi jumlah penduduk pekerja migran yang meningkat membangkitkan kembali ekonomi Taiwan.
Peter O’Neil, seorang pastor gereja Katolik, yang menjadi penasihat para pekerja migran mengatakan, orang-orang Asia Tenggara bekerja sampai 18 jam per hari tapi mendapat gaji yang lebih sedikit dibanding warga Taiwan.
”Industri-industri merupakan tempat di mana kondisi kerja sangat berbahaya, sangat panas, dan tidak nyaman, karena rakyat Taiwan tidak mau lagi bekerja di sektor perpabrikan seperti itu," ujar O'Neill.
Hampir 450.000 pekerja Asia Tenggara tinggal di Taiwan sekarang, naik dari 270.000 pada 15 tahun lalu. Lebih dari separuhnya berasal dari Indonesia dan selebihnya terutama dari Thailand, Filipina atau Vietnam. Para pekerja migran itu pergi ke Taiwan dengan kontrak-kontrak kerja jangka pendek, dan dibayar dengan upah minimum, berpenghasilan rata-rata cukup pada tahun ketiga untuk mengirim uang kepada keluarganya yang relatif miskin di tanah air mereka.
Pemerintah Taiwan melonggarkan undang-undang perburuhan tahun lalu yang mengizinkan masuknya lebih banyak pekerja. Langkah itu merupakan bagian dari usaha untuk mengembalikan pabrik-pabrik ke Taiwan dari China, di mana mereka telah beroperasi selama hampir 30 tahun.
Tidak ada perkiraan resmi mengenai kontribusi pekerja migran bagi ekonomi Taiwan, tetapi Liu Shao-yin, kepala Catholic Migrant Center, sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk pekerja migran, mengatakan pekerja asing sekarang membuat pabrik-pabrik lokal di Taiwan bertahan.
"Persoalan yang akan dihadapi Taiwan adalah para pemilik pabrik yang pindah dari Taiwan. Mereka akan mencari tempat untuk pabrik-pabrik di China atau negara-negara Asia Tenggara karena upah buruh lebih rendah di wilayah itu," katanya.
Ketergantungan Taiwan yang semakin meningkat terhadap pekerja migran menempatkannya sejajar dengan Hong Kong, Singapura, dan negara-negara lain yang mencari pekerja ke negara-negara tetangga yang lebih miskin.
Para pekerja migran di Taiwan mengisi berbagai lapangan kerja. Orang Filipina mungkin bekerja sebagai insinyur untuk perusahaan-perusahaan teknologi informasi. Para pekerja Thailand bisa didapati melakukan pekerjaan pabrik yang berat, dan orang-orang Asia Tenggara lainnya bekerja pada kapal-kapal nelayan penangkap ikan, pekerjaan yang oleh banyak orang Taiwan dianggap berbahaya.
Banyak dari 100.000 pekerja migran Vietnam yang mengurus manula Taiwan, memungkinkan generasi muda Taiwan yang biasanya mengurus orangtua mereka untuk bekerja.
Pengurus rumah tangga mendapat gaji sekitar $530 per bulan, dan pekerja pabrik berupah $638 per bulan, keduanya di bawah gaji rata-rata orang Taiwan.
Emmanuel Nanocatcat dari Filipina datang ke Taiwan setahun yang lalu untuk mendapat gaji minimum dan uang lembur di sebuah pabrik milik keluarga di Taipei.
“Saat ini ekonomi sedang turun, jadi perubahannya sangat kecil. Namun tetap saja, dibandingkan dengan bekerja di Filipina, gaji lebih bagus di sini," ujarnya.
Beberapa warga Taiwan menganggap pekerja migran sebagai ancaman karena jumlahnya terus meningkat dan gaya hidupnya mempengaruhi masyarakat yang lebih homogen di sana.
Namun pemerintah Taiwan mengharapkan pertumbuhan ekonomi lebih besar tahun ini, dan bank investasi Barclays Capital mengatakan pulau itu menarik investasi asing langsung $5 miliar dalam empat bulan terakhir.
Taipei diperkirakan akan mengizinkan lebih banyak pekerja migran Asia Tenggara untuk tinggal di Taiwan untuk membuat tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat saat ini berkesinambungan.