Mantan-mantan pilot Korean Airlines mengatakan kepada VOA bahwa isu-isu pelatihan dan budaya mungkin ikut menyebabkan jatuhnya pesawat Asiana di bandara internasional San Francisco bulan lalu. Keprihatinan dikemukakan oleh penyelidik keamanan udara di Amerika, Inggris dan Kanada setelah ada sejumlah kesalahan dan bencana sejak 1990-an.
Bulan lalu kapten pilot Asiana menerbangkan pesawat menuju bandara internasional San Francisco menggunakan pendekatan visual ketimbang kontrol otomatis. Pesawat jet itu terbang terlalu rendah dan lambat menyebabkan kecelakaan yang menewaskan tiga orang dan mencederai 180 orang.
Badan Keselamatan Transportasi Amerika (NTSB) melaporkan tidak ada satupun dari awak pesawat itu yang dalam penerbangan pertamanya berbicara mengenai posisi berbahaya ini meskipun ada peringatan otomatis sampai dua pilot meminta pembatalan pendaratan (go around) namun kedua hal itu sudah terlambat.
Mantan pimpinan NTSB Jim Hall yang sebelumnya membantu melakukan pemeriksaan keamanan industri penerbangan Korea itu menyampaikan keprihatinan bahwa kecelakaan bulan Juli itu mungkin bukan insiden khusus.
Ross Aimer, mantan kapten United Airlines yang melatih pilot-pilot KAL enam tahun lalu mengatakan keengganan untuk berbicara bisa ditelusuri dari tradisi budaya Korea yang menjunjung otoritas.
Terlalu bergantung pada pengendali otomatis juga mungkin menyebabkan kecelakaan itu. Para pilot Korea melakukan latihan pendaratan secara manual pada sebuah simulator setiap enam bulan, tapi pakar penerbangan mengatakan perusahaan penerbangan lainnya mewajibkan pilot mereka untuk latihan pendaratan semacam itu dalam situasi nyata. Sumber-sumber mengatakan para pilot Asiana secara rutin menolak tawaran pendekatan visual dari pihak pengawas lalu lintas udara.
FFA sebelumnya memberitahu VOA untuk sementara melarang pilot-pilot asing menggunakan pendekatan visual di San Francisco. FAA mengambil tindakan ini setelah melihat peningkatan pembatalan pendaratan pada saat terakhir atau yang disebut go-around oleh pilot-pilot asing dalam upaya menggunakan pendekatan visual termasuk oleh Asiana, kurang dari dua minggu setelah kecelakaan itu.
Bulan lalu kapten pilot Asiana menerbangkan pesawat menuju bandara internasional San Francisco menggunakan pendekatan visual ketimbang kontrol otomatis. Pesawat jet itu terbang terlalu rendah dan lambat menyebabkan kecelakaan yang menewaskan tiga orang dan mencederai 180 orang.
Badan Keselamatan Transportasi Amerika (NTSB) melaporkan tidak ada satupun dari awak pesawat itu yang dalam penerbangan pertamanya berbicara mengenai posisi berbahaya ini meskipun ada peringatan otomatis sampai dua pilot meminta pembatalan pendaratan (go around) namun kedua hal itu sudah terlambat.
Mantan pimpinan NTSB Jim Hall yang sebelumnya membantu melakukan pemeriksaan keamanan industri penerbangan Korea itu menyampaikan keprihatinan bahwa kecelakaan bulan Juli itu mungkin bukan insiden khusus.
Ross Aimer, mantan kapten United Airlines yang melatih pilot-pilot KAL enam tahun lalu mengatakan keengganan untuk berbicara bisa ditelusuri dari tradisi budaya Korea yang menjunjung otoritas.
Terlalu bergantung pada pengendali otomatis juga mungkin menyebabkan kecelakaan itu. Para pilot Korea melakukan latihan pendaratan secara manual pada sebuah simulator setiap enam bulan, tapi pakar penerbangan mengatakan perusahaan penerbangan lainnya mewajibkan pilot mereka untuk latihan pendaratan semacam itu dalam situasi nyata. Sumber-sumber mengatakan para pilot Asiana secara rutin menolak tawaran pendekatan visual dari pihak pengawas lalu lintas udara.
FFA sebelumnya memberitahu VOA untuk sementara melarang pilot-pilot asing menggunakan pendekatan visual di San Francisco. FAA mengambil tindakan ini setelah melihat peningkatan pembatalan pendaratan pada saat terakhir atau yang disebut go-around oleh pilot-pilot asing dalam upaya menggunakan pendekatan visual termasuk oleh Asiana, kurang dari dua minggu setelah kecelakaan itu.